Pada hari Sabtu, 15 April 2017 umat
Hindu kota Batam kembali merayakan hari raya Kuningan sebagai bagian dari
rangkaian hari raya Galungan sebelumnya. Persembahyangan dilakukan pada 2 (dua)
waktu yang berbeda. Di pagi harinya dilangsungkan di Pura Satya Dharma Muka
Kuning, Batamindo dan pada malam harinya dilaksanakan di Pura Agung Amertha
Bhuana, daerah South Link, Kota Batam. Hadir
pada kesempatan itu Penyelenggara Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Batam,
pengurus majelis Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Kep. Riau dan kota
Batam, Ketua BOP, Ketua UKHB, Ketua Peradah Kepri, pengurus WHDI dan lembaga
keagamaan lainnya.
Menurut Putu Suardika selaku Ketua
Unit Kerohanian Batamindo (UKHB) ditemui pada hari Sabtu pagi di Pura Satya
Dharma, Kawasan Industri Muka Kuning, Batamindo, hal ini terjadi karena
masayarakat hindu Kota Batam beragam latar belakang profesinya. Ada yang masuk
kerja dan tidak bisa meninggalkan pekerjaan.
Pada malam harinya, di Pura Agung
Amerta Bhuana, Kawasan South Link, Sei Ledi, I Gusti Ngurah Anom selaku Wakil
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Prov. Kepulauan Riau berkesempatan
memberikan dharma wacana (ceramah keagamaan) perihal Kuningan. I Gusti juga menegaskan
bahwa Hari Raya Kuningan jatuh setiap 210 hari sekali atau sekitar 6 bulan
tepatnya 10 hari setelah hari raya Galungan. Hari raya Kuningan jatuh setiap
hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan. Kuningan berasal dari kata “Kawuningan” yang
artinya kesejahteraan dan kemakmuran. Kuningan adalah hari di mana Tuhan dan
leluhur menganugerahkan kemakmuran kepada keturunannya. I Guti juga berpesan
kepada para siswa pasraman agar selalu berbhakti kepada orang tua, membantu
orang tua dan rajin belajar, rajin sembahyang. Karena orang tua adalah perwujudan
leluhur di muka bumi ini.
Di akhir wacananya I Gusti menjelaskan bahwa
dalam Kuningan menggunakan upakara sesaji yang berisi simbul tamiang dan endongan. Di
sinilah terjadi pencurahan kasih sayang leluhur kepada anak cucunya dengan
mendatangi kita untuk memberi berkat dan petunjuk bagi kita semua. Maka
seyogyanya kita juga harus menghaturkan sesaji tempat leluhur kita berstana.
Kuningan juga merupakan perlambang kasih sayang orang tua kepada anaknya yang
diwujudkan dengan kompek/endongan, kolem dan Tamiang memiliki lambang
perlindungan dan juga juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan
manusia pada hukum alam. Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan
alam, atau tidak taat dengan hukum alam, risikonya akan tergilas oleh roda
alam. Tamyang sebagai simbol penolak malabahaya.
Simbol cakra pada banten Kuningan menggambarkan
bahwa kita juga harus memutar roda ekonomi kehidupan Sebuah keluarga harus mampu memberdayakan
potensi ekonomi keluarga. (ep2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar