Perayaan Galungan bagi umat Hindu di Indonesia sudah sangat
memasyarakat dari abad keabad. Tetapi sangat kita sayangkan memasyarakatnya
Galungan tersebut sangat tidak seimbang antara Tattwa atau kasuksmaan Galungan,
Susila dengan Upakaranya. Artinya antara Tattwa yang tercamtum dalam teks
pustaka Sundarigama dengan wujud susila dan upakara Galungan dalam kehidupan
empirisnya sampai saat ini masih tidak nyambung. Bahkan kadang-kadang
bertentangan.antara Tattwa Galungan yang demikian luhur dan ideal dinyatakan
dalam teks Pustakanya dengan kenyataan perayaan Galungan dalam kehidupan
empiris setiap dalam kehidupan empiris setiap perayaan Galungan yang dirayakan
setiap enam bulan wuku (210 hari). Ada kalanya disuatu waktu dan tempat perayaan
Galungan lebih menonjolkan perayaan Galungan dengan meriahnya upakara yajna.
Makan masakan khas daerah yang lebih nikmat dari sehari-harinya. Demikian pula
Galungan diwujudkan dengan berpakaian serba baru,pergi ketempat-tempat hiburan
dan melakukan hal-hal yang lebih menekankan keikmatan indria. Padahal Galungan
adalah sebagai suatu peringatan untuk menajamkan daya spiritual untuk
mensinergikan penerapan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci untuk mencerahkan
hati nurani umat sehingga dapat membangun kehidupan yang cerah dan bergaiarah
untuk mengamalkan Dharma. Sesungguhnya Perayaan Galungan adalah untuk
mengimplementasikan Tattwa Galungan banyak hal yang dapat kita perbuat dengan
mengembangkan Tattwa Galungan kedalam berbagai program nyata sehingga Tattwa Galungan
menjadi nyata dalam wujud susila dan upakara nya Inilah tujuan utama penulisan
tentang Galungan dan Kuningan dalam tulisan singkat ini.
Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau
bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti
menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan,
sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya
berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara
ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama : manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan
sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di
daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen
Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama
dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu popular dirayakan di
Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama
Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di
luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan
pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar
Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat,
Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu
disebutkan:
Punang act Galungan
ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun
indria Buwana ikang Bali rajya,
“Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari
Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan
Pulau Bali bagaikan Indra Loka”.
Sejak itu Galungan terus
dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan
kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada
tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri
Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika
tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan,
konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi
relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan
digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah
Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23
tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar
tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan
pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui
penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang
terkenal dengan istilahDewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa
Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena
kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkanpawisik
atau“bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik
itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur
pendekkarena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta
kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon
Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan
pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan
(sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan
Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk
melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya.
Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan
dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar
mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari
budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu
juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan karaksasaan (asura
sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup
yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk
menguasai kecenderungan keraksasaan. Galungan adalah juga salah satu upacara
agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu
memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar
Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail.
Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan
sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis
ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan
bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan
segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar
mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang
terang inilah wujuddharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu
(byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah
didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma
melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang
dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan
Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar.
Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia.
Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari
sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan
Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh
(Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara
ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang
disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Olehkarenanya menyucikan badan
jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri
sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam
diri. Dan itulah yang disucikan. Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan
Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari
tersebut dianjurkan anyekung Jñana, artinya: mendiamkan pikiran
agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan
nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha
Galungan. Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan.
Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan.
Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaningsang ngamongyoga samadhi.” Pada hari
Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah
dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok
yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat
kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna
sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan
yang ada pada diri. Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari
raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis
Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma.
Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat
hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil
bergembira-ria. Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut
hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke
sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaituhidup sehat panjang
umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta
gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan.
Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan.
Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena
malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya,
Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sunarigama disebutkan, upacara
menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan
hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah
hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah
maring Swarga). Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya
semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya.
Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan
dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan
(tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya
adalah sebagai berikut: Galungan: Adalah hari raya yang
wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan
adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon
Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon
wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai
dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca
Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya
ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan. Galungan Nadi: Galungan yang
pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa
adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika)
tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober. Galungan Nara Mangsa: Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan
tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. (Bimas Hindu Batam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar