Pada hari Senin Kliwon, 28 September 2015 umat Hindu di Kota Tanjung
Pinang, Kabupaten Bintan dan sekitarnya mengikuti prosesi pujawali. Walaupun
kabut asap sedikit menggangu pernafasan, jarak pandang dan aktivitas lainya,
tetapi umat Hindu tidak mengurungkan niatnya untuk melaksanakan pujawali,
terlebih pada pujawali kali ini panitia menghadirkan 2 (dua) narasumber dari
redaksi Media Hindu Jakrta yaitu Bapak Dewa Ketut Suratnaya dan Ibu Tiwi Susanti. Pujawali diikuti oleh lebih kurang 100 umat dari kota tanjung
pinang, kabupaten Bintan dan beberapa umat Hindu dari Kota Batam yang bias menyempatkan diri hadir. Hadir dalam kesempatan itu Ketut Suardita, S.Pd, M.Pd selaku Pembimas Hindu pada Kanwil Kementerian Agama Prov.
Kepulauan Riau, Purwadi, S.Ag selaku Penyuluh PNS Agama Hindu Provinsi Kepulauan Riau, kemudian Nyonya Dara
Astuti selaku Ketua WHDI Prov.
Kepulauan Riau, kemudian Penyelenggara Hindu Kantor Kemetenrian Agama Kota Batam Ketua
PHDI, WDHI Kab. Bintan, PHDI dan WHDI Kota Tanjung Pinang dan pimpinan lembaga agama dan kegamaan lainya.
Pujawali selalu diidentikkan dengan hari ulang tahun pura.
Tetapi bukan ulang tahun seperti yang kita tayakan setiapa tahunya. Pujawali
diperingati secara berkala, ada yang setiap enam bulan ada juga yang setahun
sekali, tergantung kemampuan umat Hindu. Pujawali diambil berdasarkan wewaran, wuku, sasih tidak
berdasarkan tanggal seperti ulang tahun kita sebagai manusia. Pujawali lebih ke
arah aktivitas spiritual, ritual umat Hindu untuk memuja kembali (Puja mewali)
turunya Ida Bhetara yang bersthana di Pura yang kita usung.
Pada H-1 pujawali, umat Hindu di Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan dan
sekitarnya mengikuti ruwatan/panglukatan Nawa
Ratri dengan menggunakan sedikitnya 9 (sembilan) warna bunga ditambah air
kelapa gading yang sudah tidak diragukan lagi kasiatnya. Tujuan dari panglukatan
ini adalah menghilangkan segala jenis kekotoran batin akibat dari aktifitas
pikiran, perkataan dan perbuatan kiita, ditambah lagi dengan gelombang suka dan
duka yang selalu dialami manusia. Pikiran harus dimurnikan agar kita siap
menerima gelombang suka dan duka kehidupan. Di rumah umat bisa sendiri
melakukan pengkukatan dengan air kelapa gading pada saat bulan purnama. Di mana
dupa yang menyala kita celupkan dalam air kelapa gading yang bermakna
menghidupkan kekuatan Brahma dalam air kelapa gading itu setelah itu kita
percikkan ke pelinggih, rumah, pekarangan, tubuh kita dan bisa di minum terutama
oleh ibu yang sedang hamil, bias juga ketika energi sedang ngedrof. Banyak sekali permasalahan umat yang
muncul, di sinilah peran rohaniawan di samping melayani umat di bidang ritual
keagamaan, pendidikan pasraman, juga harus mampu memecahkan masalah umat,
bimbingan konseling segala bidang dari kelahiran, perkawinan, kematian bahkan
konsultasi secara skala
dan niskala, sehingga umat akan tercerahkan secara skala dan niskala. Kita
harus mampu menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh umat Hindu. Di
satu sisi banyak sekali berita
menggembirakan bahwa banyak umat lain yang berbondong-bondong pindah ke agama
Hindu,
terutama di Jawa, tetapi kita harus
siap membina mereka, memberikan pelayanan manusa Yajña mulai dari
kelahiran, raja sewala, pengurusan perkawinan, rumah ibadah, pendidikan
pasraman sampai pada urusan pitra Yajña/pengebenan dan konseling permalahan kehidupan, niscaya umat yang
baru masuk tidak kembali ke agama yang lama. Pemerintah bekersama dengan
Parisada dan lembaga keagamaan lainya beserta umat Hindu harus bersatu memecahkan permasalahan ini.
Pujawali kali ini terbilang istemewa karena kembali bertepatan dengan bulan
Purnama sekaligus gerhana bulan yang berwarna merah, walau tidak dapat terlihat
di wilayah Indonesia. Tentunya bulan
Purnama sangat baik untuk melakukan aktifitas Yajña apalagi pujawali. Setelah
persembahyangan bersama yang dipimpin oleh Jro Mangku Pasek
Okadana, Pembimas Hindu memberikan kata sambutan.
Dalam sambutanya Pembimas Hindu mengajak umat Hindu di Tanjung Pinang untuk
menjaga kerukunan umat, persatuan umat. Jika sudah tidak rukun maka tidak akan nyaman dalam beribadah. Beliau juga memberi apresiasi yang tinggi kepada
panitia
pujawali yang telah bekerja keras mulai dari persiapan,
perencanaan, pelaksanaan hingga pada proses laporan pertanggung jawaban
pelaksanaan Pujawali. Tidak lupa
beliau sekaligus
mewakili umat Hindu Kota Tanjung Pinang megucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu jalannya pujawali dari awal sampai akhir.
Selanjutnya umat Hindu Tanjung Pinang mendengarkan dharma wacana, kali ini dibawakan oleh Dewa
Ketut Suratnaya dari Media Hindu Jakarta. Dalam dharma wacananya beliau
menyatakan bahwa Pujawali pada umumnya diawali dengan prosesi Mecaru. Mengapa
harus mecaru? Mecaru berasal dari kata “car” yang artinya bersih. Membersihkan
energi negatif, mengubah dominasi energi negatif menjadi energi positif. Mecaru adalah persembahan pada Bhuta atau kekuatan alam,
pada penguasa ruang dan waktu (kala). Mecaru juga bisa dimaknai sebagai
persembahan pada pertiwi karena manusia hidup di atas bumi,
sehingga manusia harus hormat kepada Ibu pertwiwi (bumi). Mecaru dapat menyucikan area pura, meningkatkan energi spiritual pura atau skaralisasi area pura. Caru biasanya
di sertai dengan ayam dan banten lainya seperti daksina. Pada tingkatan energi
bulu-bulu ayam akan bekerja untuk membersihkan energi yang negatif di area pura. Sehingga ke depannya energi pura dapat
bekerja dengan sendiri untuk membersihkan kekotoran yang ditimbulkan oleh ulah manusia baik sengaja maupun
tidak sengaja. Mengapa caru harus disertai dengan banten daksina?, sebab kalau tidak maka roh sang ayam tidak akan
mengalami evolusi roh ke arah yang lebih baik, dan jika hal ini terjadi maka hal
ini tidak lebih dari pembunuhan
terhadap ayam itu sendiri, ayam tidak mengalami roh yang lebih
baik. Di sinilah pentingnya banten daksina sebagai media pengantar roh sang ayam.
Banten pujawali secara umum ada 3 (tiga) fungsi yaitu: byakala,
atau bermakna persembahan kepada bhuta kala atau ebayar “bya” kala yaitu
membayar hutang kepada ruang dan waktu dan penguasa waktu “kala: itu sendiri. Manusia
berhutang kepada raung dan waktu, berhutang atas hidup dan waktu untuk
bernafas. Yang kedua adalah
banten durmanggala yang biasanya
ada kelapa hijaunya sebagai simbol Wishnu yang memelihara
ciptaan Brahma pada proses penciptaan. Kemudian ada unsur
prayascita yang berfungsi pembersihan akhir dan membersihkan sifat—sifat Yajña
yang rajasik dan tamasika menjadi sattwika. Di sini
peran Siwa lebih dominan dalam proses prayascita
sehingga kehidupan manusia
di bumi ini menjadi atenang dan
damai. Pada tahap
selanjutnya akan terjadi proses ektoplasma di mana
terjadi persatuan antara yantra, tantra dan mantra sehingga Yajña menjadi
sidhi. Yantra merupakan
simbol-simbol/nyasa dalam upacara pujawali.
Sedangkan tantra yang merupakan
teknik dari menghidupkan mantra dan banten pujawlai itu sendiri.
Terakhir adalah peran mantra yang diuncarkan manggalaning upacara juga
menentukan keberhasilan Yajña. Mantra adalah kata – kata tetapi tidak semua
kata-kata adalah mantra. Lalu kata-kata yang bagaimana agar bias disebu mantra?
Tentunya kata-kata yang mengandung doa, kata-kata yang berasal dari Weda Sruti
atau Smerti, kata-kata Weda yang diucapkan dengan penuh keyakinan akan
keberhasilanya. Jika tidak memiliki sradha atau keyakinan terhadapa mantra maka
lebih baik jangan ucapka mantra itu. Hal
ini sangat luar biasa sehingga di sini kebehaslan karya
akan terjadi sehingga ada istilah lascayra (keikhlasan) sehingga membuat karya
menjadi sidhi karya (Yajña yang berhasil) dan labda karya (membawa kesejahteraan dan kesucaian umat). Unsur yantra, tantra dan mantra tidak bisa
dipisahkan dalam proses Yajña baik oleh sang yajamana, serathi banten dan
manggalaning upacara jika ingin berhasil. Jika ini terjadi maka pura dapat
menyerap energi 3 (tiga) dewa yang kita kenal dengan Tri Murti dan energi dari
ista dewata lainya terlebih leluhur. Sungguh lar biasa
kekuatan dari yantra, tantra dan mantra.
Lalu mengapa harus ada mendak nuntun Ida Bhetara, mekalya hyas, purwa
daksina dan tari rejang dewa? Perlu kita ketahui ada 3 (tiga) sifat Tuhan
yaitu: Parama Siwa di mana Tuhan tidak
ada pengaruh maya, tidak tepikirkan, acintya
rupa,
tidak berwujud. Kemudian Sada
Siwa, di sini sudah ada sedikit pengaruh maya. terakhir adalah Siwa di mana Tuhan sudah berwujud dan terjadi
pengaruh maya dan suka dukkha kehidupan. Konsep Tuhan sebagai atau jiwa-jiwa dalam makhluk hidup yang sudah mengalami
gelombang suka duka kehidupan, terkena pengaruh maya, panas dingin dan dualisme
duniawi lainnya. Di sinilah ditemukan bukti bahwa Atman
adalah Brahman itu sendiri yang ada pada setiap makhluk hidup dan terkenan pengaruh
maya. Tuhan dalam prabhawa-Nya sebgai
Ida Bhetara yang berstana di Pura dapat kita puja dengan visualisasi berupa
simbol dan wujud tertentu, hal ini memudahkan kita untuk berkonsentrasi memuja
Tuhan. Tuhan kita umpamakan seperti raja yang harus kita hormati, kita layani,
kita buat beliau merasa senang dan inilah jalan bhakti yang sangat universal.
Bahkan Atmasnastusti atau kepuasan batin dalam Yajña mendapat tempat yang
tinggi dan menjadi sumber hukum Hindu sesuai yang tersurat dalam Kitab Manu
Smerti atau Manawa dharma sastra. Sehingga sering kita umat Hindu melakukan menghias Ida Bhetara, menggotong jempana/daksina linggih
Ida
Bethara ke pura
atau tempat suci
lainya. Di sini bukan berarti Ida Bethara di Pura A kosong karena umatnya membawa daksina linggih
Ida Bhetara ke Pura B atau
tempat suci lainya. Di Jabodetabek
biasa kita jumpai saat umat Hindu ngiring Ida Bhtetara ke pura lain yang sedang
ada pujawali, mendak tirtha,
nyegara gunung atau melasti. Kembali inilah penerapan konsep bhakti dan berkembang
menjadi etika yang kita jadikan norma bersama dalam setiap upacara Yajña
termasuk pujawali. Umat Hindu juga membuat banten gelar sanga untuk dimensi alam bawah. Ini untuk
mengantisipasi kehadiran Ida Bhetara yang terkadang hadir sendiri, tetapi terkadang membawa banyak teman dan pasukanya.
Selanjutnya dalam
pujawali biasanya umat Hindu melakukan aktifitas Purwa daksina biasanya berputar mengelilingi padmasana searah jarum jam yang mengandung makna bahwa kita harus
ikut memutar roda kehidupan di jalan yang benar. Jika kita tidak bekerja
mencari nafkah maka kita akan tergials dalam perputaran roda kehiupan Purwa
daksina juga merupan bentuk penghormatan kepada Tuhan seru sekalian alam agar
dunia ini tetap tegak.
Lalu mengapa kita sembahyang harus ke pura? Pura mempunyai energi “datu” yang leih baik di banding datu di rumah atau di
kantor. Tetapi terkadang kareana alasan tidak mau bergaul dengan orang lain
kadang umat tidak mau ke pura karena berbagai alasan di antaranya bahwa Tuhan
bisa di puja di mana saja, memang benar seperti itu akan tetapi pura jauh lebih
baik dalam hal vibrasi dan kesucian. Akan berbeda jika kita sembahyang di rumah
atau di tempat yang lainya. Kita duduk dan sembahyang saja sudah akan menerima
vibrasi positif pura, apalagi kita melakukan meditasi, japa dan yoga lainya. Pelinggih
pura juga memiliki fungsi yang sangat besar dalam proses pemunian pikiran
karena pelinggih berfungsi sebagai akses menuju Tuhan. Dengan alasan ini maka umat
Hindu harus memberdayakan pura, umat harus pergi ke pura karena Pura mempunyai
Datu yang lebih baik dibandingkan sembahyang di rumah. Panca Datu mewakili lima
elemen logam dan juga unsur Panca Maha Bhuta. Datu tidak hanya di tanam di
pura, tetapi juga bisa di rumah, kantor, dan bahkan dalam tubuh manusia. Dalam
tubuh manusia ada unsur panca datu yang harus dihidupkan agar bermanfaat bagi
hidup kita yaitu: getah bening, lemak, daging, tulang, sungsum. Di rumah juga
bisa ditanam jahe, lengkuas kunyit jadi satu dalam satu pot tanaman atau tanah.
Pada pekembanganya peran pemangku dan pinandita harus kita tingkatkan.
Jangan kita batasi. Kalau dulu pemangku hanya bertugas memberikan pelayanan di
bidang upakara Yajña, maka sekarang pemangku bertugas memberikan peyuluhan umat
dan bimbingan konseling tenis keagamaan lainnya. Pemangku pada perkembanganya
berhak untuk muput upacara Yajña termasuk karya pujawali. Di sini terkadang
umat terlalu takut dan beranggapan bahwa seolah-olah pujawali harus dipuput
oleh seorang sulinggih atau dwijati seperti pedanda, Ida Resi, dan sebagainya,
sehingga peran pemangku termarinalkan. Jika umat terbingungkan oleh rohaniawan
maka kembalilah ke sastra. Tuhan dalam Bhagavadgita mengatakan bahwa hendaknya
orang suci yang bijaksana tidak membingungka umat demu kepentingan materi dan
kepenteingan lainnya. Dalam sastra sebuah uaakara harus ada tri Manggalaning
upakara yaitu sang yajamana, serathi banten dan manggalaning upakara. Pemuput
Yajña tidak harus sulinggih untuk tingkatan pujawali. Di sini harus ada sinergi
dan hubungan antara tri Mangalaning Yajña. Satu dengan yang lain tidak dapat
terpisahkan keberadaanya, sehingga yajnya yang satwika dapat terwujud.
Untuk mewujudkan pelaksanaan Yajña yang sāttwika, ada tujuh syarat yang
wajib untuk dilaksanakan sebagai berikut: 1) Śraddhā artinya dalam melaksanakan Yajña harus keyakinan, jika
tidak maka akan sa-sia. 2) Lascarya artinya
ikhlas. 3) Śāstra yaitu pelaksanaan
Yajña harus berdasarkan sumber śāstra yaitu śruti, smŗti, śila, ācāra,
ātmanastuṣṭi. 4) Dakṣiṇa adalah harus
ada persembhan benda atau uang. 5) Mantra
dan Gītā adalah pelaksanaan Yajña
dengan Mantra dan melantunkan lagu-lagu suci/kidung untuk pemujaan. 6) Annasewa, yaitu dalam upacara yaja harus
ada persembahan makan kepada para tamu yang menghadiri upcara (Atithi Yajña).
7) Nāsmita adalah Yajña yang
dilaksanakan dengan tujuan bukan untuk memamerkan kemewahan dan kekayaan.
kualitas suatu upakara tergantung pada ketulusan, karena kemewahan upakara
yang bukan merupakan jaminan yang mutlak keberhasilan upakara yang dilakukan
oleh umat. Agar sebuah upaara Yajña behasil maka harus ada unsur Panca Tarka
yaitu Iksa atau tujuan dari upakara Yajña, Śakti
atau kemampuan umat, desa atau tempat
berlangsungnya upakara, kalau upakara dilaksanakan di Kep Riau dan Tanjung
Pinang maka akan berbeda dengan pelaksanaan upakara yajna di Bali. kemudian kala atau waktu, yang terakhir adalah tattwa, di mana yajna harus berpedoman
pada śāstra Agama. Jangan jor – joran dan merusak kelangsungan alam dan makhluk
hidup. Tetapi jangan juga pelit, mampu melakukan upakara yajna tetapi pura-pura
tidak mampu, sehingga proses yajna dan dana punia tidak berjalan. Dalam sepbuah
yajna jika ingin berhasil maka harus ada daksina kepada rohaniawan dan annasewa
atau permbahan makanan baik kepada rohaniawan dan umat Hindu. Jika rohaniawan
tidak diberi daksina dan pulang dengan perut yang belum terisi makanan, maka
yajan upakara sebesar apapun akan menjadi pahala rohaniawan yang muput karya
upakar yajna termasuk pujawali. Ini harus kita pikirkan bersama agar sebuah
yajna menjadi lascarya, sidhi karya dan labda karya. Sehingga akan terwujud loka samgraha, semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar