Rabu, 06 September 2017

Umat Hindu Kota Batam Gelar Perayaan hari Suci Tumpek Landep

Bertempat di Halaman Utama Mandala Pura Agung Amertha Bhuana, Kota Batam, umat Hindu Kota Batam menggelar Persembahyangan bersama guna memperingati hari suci Tumpek Landep. Hadri pada kesempatan itu penyelenggara Hindu dan ketua Lembaga agama/keagamaan baik tingkat Provinsi Kepulauan Riau maupun Kota Batam. Ada hal yang berbeda dari perayaan tumpek Landep tahun ini di mana master ceremony (MC) dibawakan oleh I Gusti Ngurah Prayata Anom yang notabene usianya masih sangat muda dan baru duduk di kelas 7 SMP. Ini adalah upaya kaderisasi yang dilakukan oleh Umat Hindu Kota Batam, khususnya Banjar Nagoya. Pada kesempatan itu Wayan Jasmin selaku Ketua Parisada Prov. Kepulauan Riau membawakan dharma wacana dengan topik makna hari suci Tumpek Landep dan manfaatnya dalam kehidupan kita.

Seperti biasa, Tumpek Landep selalu diawali dengan memprayascita semua benda – benda hasil karya pikiran manusia, mulai dari keris, kedaraan, senjata untuk bertani, hingga laptop. Ini merupakan fenomena yang terjadi sekarang ini.

Tumpek Landep adalah saat di mana Ida Hyang Widhi Wasa dalam prabhawa-Nya sebagai  “Pasupati” atau “Siwa Pasupati” itu sendiri. Pasupati itu terdiri dari pasu yang berarti jiwa atau binatang, juga berarti kehidupan, dan pati adalah penguasa, jadi “Pasupati” adalah penguasa kehidupan/binatang, binatang di sini melambangkan nafsu indria, maka jangan heran jika dalam gambar dewa Siwa dhyana itu duduk dengan kulit harimau, artinya beliau mengajarkan kepada kita dalam hidup harus menguasai panca indra, jangan kita dikuasai oleh panca indra pemuas nafsu kita. Pada hari Tumpek Landep, Siwa sebagai Pasupati menganugerahkan jnana atau ketajaman pikiran (landeping idep), ketajaman perkataan(landeping wak), dan ketajaman perbuatan (landeping laksana). Pikiran dipertajam dengan ilmu, tapa brata yoga Samadhi, perkataan ditajamkan dengan menata  pembicaraan, dalam filsafat jawa ada istilah “ajining dhiri ono ing gebyaring lathi” harga diri manusia ada pada kata-katanya. Perbuatan ditajamkan dengan pergaulan, harmonisasi.  dari kelima hari ini ada kaitanya yaitu manusia diarahkan untuk melakukan penebusan dosa, setelah dimurnikan maka diberikan ilmu pengetahuan pada hari Saraswati dan pada tumpek landep yang berbarengan dengan purnama ditajamkan kembali. Sepulang dari pura Bapak Ibu bisa melukat di rumah dengan tirta pasupati yang telah disiapkan oleh panitia, yang berisi bunga, dan yang polos adalah tirta amerta, atau Bapak Ibu bisa menggunakan air kelapa gading, karena di hari suci purnama air kelapa gading diyakini akan dapat memberishkan segala kekotaran batin baik diberi mantra maupun tidak.

Tumpek Landep dirayakan setiap Sanisara Kliwon Wuku Landep. Tumpek Landep berasal dari kata Tumpek yang berarti Tampek atau dekat dan Landep yang berarti Tajam.

Jadi dalam konteks filosofis, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai - nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk .

Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Jadi setelah memperingati Hari Raya Saraswati sebagai perayaan turunya ilmu pengetahuan, maka setelah itu umat memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau memberi ketajaman pikiran dan hati. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan besi.

Namun seiring perkembangan zaman, makna tumpek landep menjadi bias dan semakin menyimpang dari makna sesungguhnya.

Sekarang ini masyarakat justru memaknai tumpek landep lebih sebagai upacara untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh menyimpang. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep melakukan upacara terhadap motor, mobil dan peralatan kerja namun jangan melupakan inti dari pelaksanaan Tumpek Landep itu sendiri yang lebih menitik beratkan agar umat selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan. Ritual Tumpek Landep sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri.

Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan.  

Tumpek landep adalah tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran - ajaran agama. Pada rerainan tumek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur. Bagi para seniman, tumpek landep dirayakan sebagai pemujaan untuk memohon taksu agar kesenian menjadi lebih berkembang, memperoleh apresiasi dari masyarakat serta mampu menyampaikan pesan - pesan moral guna mendidik dan mencerdaskan umat.

Jadi sekali lagi ditegaskan, Tumpek Landep bukan hanya rerainan untuk mengupacarai motor, mobil ataupun perabotan besi, tetapi lebih menekankan kepada kesadaran untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta untuk kesejahteraan umat manusia. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep mengupacarai motor, mobil dan sebagainya sebagai bentuk syukur namun itu adalah nilai tambahan saja. Jangan sampai perayaan rerainan menitik beratkan pada nilai tambah namun melupakan inti pokok dari rerainan tersebut.

Dalam lontar Agastya Parwa dijelaskan telah terjadi percakapan anatara sang Dredasyu dengan Bagawan Agastya begini bunyinya: “ wahai Guru mulia, Perbuatan mulia apakah yang membuat seseorang mencapai keutamaan hidup baik di dunia maupun setelah mati?’ kemudian Bahgaan Agastya menjawab: wahai Sang Drdhasyu, ada 3 hal yang memungkinkan seseorang mencapai keutamaan hidup, adalah ulah, sabda dan ambek (perbuatan, perkataan dan pikiran), akibat yang dihasilkan oleh pikiran lebih besar daripada perkataan, dan perkataan lebih berat dari pada perbuatan, demikian juga sebaliknya dosa yang dihasilkan oleh perbuatan yang disertai kesadaran pikiran lebih besar daripada yang tidak menggunakan emosi pikiran. Untuk itu disaran seorang spiritual itu diharapkan dapat berpikir baik. Pikiran itu tajam, bisa jadi teman bisa jadi lawan, waspadalah, waspadalah!!!!

Kemudian Bhagawan Agastya menambahkan lagi ada tiga hal lagi yang harus dipegang oleh umat manusia yaitu: tapa, yajna dan krti, tapa lebih ditekankan ke pengendalian indria, selalu seimbang walau dihina dan dipuji, jangan kita senang lihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang. Ini negative sekali. yajnya berarti korban suci yang tulus ikhlas, mari kita lestarikan upakara yajna yang berlandaskan sastra suci sebagai bentuk pelestarian dan pembumian ajaran Weda, yajnya sebagai kamadhuk atau sapi perahan yang membuat hidup sejahtera, Karena dengan yajnya hujan dan kemakmuran itu ada, di mana suatu daerah tidak ada yajnya maka daerah itu akan kering/tidak subur. Penglingsir kita begitu agung mewariskan ajaran yajnya, seperti Mpu Kuturan, Dhahyang Nirarta, Mpu Markandeya, dsb. Kemudian krti adalah perbuatan baik dengan membangun fasilitas umum seperti pura, pasraman sekolah, dll, krti bisa  sebagai investasi karma. Ketiga hal ini di masyarakat menimbulkan prawerti dan niwerti marga yang artinya bahwa jalan jnana dan bhakti itu selalu ada dan berdampingan, jangan kita mengartikan bahwa prawerti itu jalan bagi yang jnananya rendah, dan niwerti bagi yang jnananya tinggi, di hadapan Tuhan semua sama yang membedakan adalah kualitas bhakti, ikhlas dan tidaknya. (eko 2017)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar