Pura Agung Amerta Bhuana, Kota Batam |
Di pelataran Mandala Utama Pura Agung Amerta Bhuana Kota Batam, tampak pada malam itu, Sabtu Kliwon, 4 Pebruari 2017 umat duduk rapi menunggu pinandita, Serathi banten membagikan tirtha pasupati untuk pembersihan kendaraan yang diparkir di jaba sisi oleh umat. Suasana begitu dingin karena mendung di langit. Setelah prosesi itu selesai, tiba giliran Penyelenggara Bimas Hindu berkesempatan memberikan sedikit penjelasan tentang apa itu makna hari Tumpek Landep. Hadir pada kesempatan itu sesepuh umat, tokoh umat, pimpinan lembaga agama dan keagamaan, ketua banjar dan umat Hindu di Kota Batam. Penyelenggara memulai wacananya dengan mengajak umat Hindu mengamati perubahan, evolusi atau metamorfosa pemaknaan hari Tumpek Landep. Seperti kita ketahui bahwa raya Agama Hindu itu sangat banyak seperti Galungan, Kuningan, Nyepi, Siwaratri, Saraswati, tumpek, belum lagi pujawali di hari-hari tertentu. Mengapa bisa sebanyak itu?, mengapa bisa berbeda dengan Hindu di India?. Jika dibandingkan dengan Agama lain maka hindu gudangnya upacara keagamaan. Jika ada umat yang baru dan anak-anak misalnya mengenal Hindu hal ini cukup memusingkan, bahkan sebagian umat di Bali dan di Indonesia mungkin ada yang mengeluh dengan hal ini, tapi itulah Hindu. Nah yang harus kita telusuri adalah mengapa dalam Agama Hindu Bali pada khsuusnya dan di Indoensia pada umumnya banyak upacara keagamaanya?. Mari kita bahas satu per satu mengenai hal ini.
Pulau Bali adalah pulau kecil yang luasnya hampir sama dengan Pulau Batam dan di Pulaau Bali zaman dahulu adalah sebagai tempat pelarian akhir dari sekte yg ada di nusantara. Sejarah mencatat 9 (sembilan) sekte yg tumbuh subur di Bali. Namun pada kenyataanya mungkin lebih dari itu, dan yg paling besar dan berpengaruh adalah 3 (tiga) sekte utama, yaitu Sivaism, Waisnawa, Budhaism, dan tantra atau Siwa Sidhanta. Jika kita amati bahwa di Indonesia tidak punya patokan standard international dalam beragama seperti agama tetangga. Hindu bali berdiri sendiri tanpa harus ikut-ikutan kiblat ke India. Kita bisa lihat Agama Islam, Kristen atau Agama Buddha. Sebaga contoh di negara Burma, di mana Agama Buddha berkembang dengan standard yang dimilikkinya.
Lalu apa ciri-ciri dari 3 (tiga) sekte besar yang kita warisi saat ini di Bali?. Sangat mudah kita temukan yaitu ..pada hari suci Tilem lebih dominan unsur Sivaism, pada hari Purnama dominan Wasinawa dan Budhism. Dan penerapan Sesaj pada ritual upacara keagamaan lebih condong pada ajaran tantrayana pada siwa sidhanta. Kapanpun ada hari raya besar yg berkaitan dengan Purnama/Budha Wage/Buddha Kliwon itu semua pengaruh dari buddhaism (mahayana). Dan saat Tilem, Nyepi dan Tumpek dan lain-lain itu semua adalah pengaruh dari Sivaism. Terkait hari Tumpek Landep adalah mempunyai makna "tajamkan pikiran” karena hidup ini penuh dengan liku seperti ”sebatang keris". Tumpek Landep bukanlah pujawali atau piodalan besi, mobil, laptop dan lainnya. Namun perkembangan pemaknaan Tumpek landep dan bhakti mengalami evolusi dan metamorfosa. Hal ini tidak bisa dicegah dan di batasi an itu juga sah-sah saja, namun paling tidak kita punya patokan dasar yaitu Tumpek Landep adalah sebuah hari di mana ada tutur, motivasi agar kita kembali ke dalam konsep berpikir, berkata dan berbuat yang bajik. Orang bijak berkata bahwa bagaikan mengukir di atas batu, sangat sulit untuk di hapus begitu juga dengan kata-kata yg tidak baik akan membuat hati yang mendengar menjadi terluka dan terus di ingat sepanjang hidupnya. (Wasita nimitanta manemu dukha). Agama Hindu adalah agama yg mengajarkan motivasi dan bhakti yg halus pahamilah dengan kejernihan pikiran.
Lebih lanjut Eko mangatakan bahawa pelaksanaan upakara yajna merupakan salah satu upacara Panca Yajna yang bertujuan untuk memuliakan para dewa, leluhur seru sekalian alam. Dengan melaksanakan upacara keagamaan kita telah ikut membumikan ajaran Weda. Kita telah melaksanakan konsep ajaran satyam, siwam dan sundaram, yaitu manakala upacara itu didasarkan sastra, satyam namanya, penuh ketulusan, kesucian setiap gerak piker, kata perbuatan adalah siwam namanya, dan upakara yang penuh dengan nilai senin dan keindahan adalah sundaram namanya, yang pada akhirnya akan mewujudkan dharma sidhiarta, yaitu iksa yang berati tujuan dari yajna, sakti berart kemampuan umat Hindu dalam mempersiapakan upacara yajna, desa adalah tempat di mana dilaksanakan upakara yajna, kala adalah waktu kapan dilaksanakan uapakra yajna, dan tattwa yaitu memahami nilai filsafat yang terkandung dalam upakara yajna.
Kita patut bersyukur bahwa di bulan Januari dan Pebruari
ini kita dikaruniai hari suci yang membimbing kita mengasah pikiran kita ake
arah kesucian. Ada Hari Saraswati, Pagerwesi, Siwa Ratri, Tilem dan pada hari
ini adalah Tumpek Landep. Tumpek Landep adalah saat di mana Ida
Hyang Widhi Wasa dalam prabhawa-Nya sebagai “Pasupati” atau “Siwa
Pasupati” itu sendiri. Pasupati itu terdiri dari pasu yang berarti binatang,
jiwa/kehidupan, pati berarti penguasa, jadi “Pasupati” adalah penguasa setiap
jiwa dan kehidupan/binatang. Binatang di sini melambangkan nafsu indria, maka
jangan heran jika dalam gambar dewa Siwa Dhyana itu duduk
dengan kulit harimau, artinya beliau mengajarkan kepada kita dalam hidup harus
menguasai panca indra, jangan kita dikuasai oleh panca indra pemuas nafsu kita.
Pada hari Tumpek Landep, Siwa sebagai Pasupati
menganugerahkan jnana atau ketajaman pikiran (landeping idep), ketajaman
perkataan(landeping wak), dan ketajaman perbuatan (landeping laksana). Pikiran
dipertajam dengan ilmu, tapa brata yoga Samadhi, perkataan ditajamkan dengan
menata pembicaraan, dalam filsafat jawa ada istilah “ajining dhiri
ono ing gebyaring lathi” harga diri manusia ada pada kata-katanya. Perbuatan
ditajamkan dengan pergaulan, harmonisasi. dari kelima hari ini ada
kaitanya yaitu manusia diarahkan untuk melakukan penebusan dosa, setelah
dimurnikan maka diberikan ilmu pengetahuan pada hari Saraswati dan pada tumpek
landep yang berbarengan dengan purnama ditajamkan kembali. Sepulang dari pura
Bapak Ibu bisa melukat di rumah dengan tirta pasupati yang telah disiapkan oleh
panitia, yang berisi bunga, dan yang polos adalah tirta amerta, atau Bapak Ibu
bisa menggunakan air kelapa gading, karena di hari suci purnama air kelapa
gading diyakini akan dapat memberishkan segala kekotaran batin baik diberi
mantra maupun tidak.
Umat sedharma yang berbahagia dalam lontar Agastya Parwa
dijelaskan telah terjadi percakapan anatara sang Dredasyu dengan Bagawan
Agastya begini bunyinya: “ wahai Guru mulia, Perbuatan mulia apakah yang
membuat seseorang mencapai keutamaan hidup baik di dunia maupun setelah mati?’
kemudian Bahgaan Agastya menjawab: wahai Sang Drdhasyu, ada 3 hal yang
memungkinkan seseorang mencapai keutamaan hidup, adalah ulah, sabda dan ambek
(perbuatan, perkataan dan pikiran), akibat yang dihasilkan oleh pikiran lebih
besar daripada perkataan, dan perkataan lebih berat dari pada perbuatan,
demikian juga sebaliknya dosa yang dihasilkan oleh perbuatan yang disertai
kesadaran pikiran lebih besar daripada yang tidak menggunakan emosi pikiran.
Untuk itu disaran seorang spiritual itu diharapkan dapat berpikir baik. Pikiran
itu tajam, bisa jadi teman bisa jadi lawan.
Kemudian Rsi Agastya menambahkan lagi ada tiga hal lagi
yang harus dipegang oleh umat manusia yaitu: tapa, yajna dan krti, tapa
lebih ditekankan ke pengendalian indria, selalu seimbang walau dihina dan
dipuji, jangan kita senang lihat orang lain susah dan susah melihat orang lain
senang. Ini negative sekali. yajnya berarti korban suci yang tulus ikhlas, mari
kita lestarikan upakara yajna yang berlandaskan sastra suci sebagai bentuk
pelestarian dan pembumian ajaran Weda, yajnya sebagai kamdhuk atau sapi perahan
yang membuat hidup sejahtera, Karena dengan yajnya hujan dan kemakmuran itu
ada, di mana suatu daerah tidak ada yajnya maka daerah itu akan kering/tidak
subur. Penglingsir
kita begitu agung mewariskan ajaran yajnya, seperti Mpu Kuturan, Dhahyang
Nirarta, Mpu Markandeya, dsb. Kemudian krti adalah perbuatan baik dengan membangun
fasilitas umum seperti pura, pasraman sekolah, dll, krti
bisa sebagai investasi karma. Ketiga hal ini di masyarakat
menimbulkan prawerti dan niwerti marga yang
artinya bahwa jalan jnana dan bhakti itu selalu ada dan berdampingan, jangan
kita mengartikan bahwa prawerti itu jalan bagi yang jnananya rendah, dan
niwerti bagi yang jnananya tinggi, di hadapan Tuhan semua sama yang membedakan
adalah kualitas bhakti, ikhlas dan tidaknya. (ep2017)
Lanjut postingannya mas, Oh ya, Masih terasa berat saat buka di PC Mas Eko..
BalasHapusOm Swastyastu, inggih, suksma. sudah tiyang ganti temanya agak ringan
BalasHapus