Ida Pedanda Gde Panji Sogata muput karya Melasti |
Pada
hari Jumat Kliwon, Wuku Tolu, 7 Nopember 2014 yang bertepatan dengan purnama
sasih kelima, Umat Hindu di Kota Batam mengadakan Upacara Pujawali di Pura
Agung Amertha Bhuana. Upacara pujawali merupakan bagian dari Dewa Yajna yang berarti memuja kembali
keagungan Tuhan pada hari yang sudah ditentukan. Pujawali merupakan salah satu
pembumian dan pelestarian ajaran Weda demi tetap tegaknya dharma di muka bumi
ini. Upacara ini merupakan implementasi dari satyam (kebenaran), siwam
(kesucian) dan sundaram (keindahan)
yang pada akhirnya akan menciptakan lokasamgraha
(tempat yang damai), dharma sidhiyartha
yang berdasarkan Iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (tempat), kala
(waktu) dan tattwa (sastra suci).
Pujawali Pura Agung Amertha Bhuana, Kota Batam mengambil tema: “melalui pujawali ini mari kita tingkatkan
sradha dan bhakti serta tetap menjaga rasa kebersamaan dan persaudaraan di
antara kita.” Tema ini sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang ini di
mana kita hidup di tengah-tengah masayarakat yang beragam latar belakangnya
sehingga sangat penting untuk menjaga rasa kebersamaan dan persaudaraan agar
tercipta lokasamgraha atau tempat
yang damai.
Persiapan Melasti |
Pada
hari sebelumnya yaitu hari Kamis, 6 Nopember 2014 umat juga mengadakan Melasti/mekiyis di danau Sei Ledi.
Upacara ini selain untuk menyucikan sarana upakara berupa wastra dan pratima lainya,
dalam sastra suci yang bahasa jawa kuna dijelaskan: “pamratista pesucian dewa kalinggania bethara kabeh”, juga bertujuan
untuk memohon anugrah dan kesucian kepada Tuhan. Dalam Bahasa Jawa Kuna
dijelaskan: “amet sarining tirtha
kamandalu ring telenging segara” yang artinya menyerap sari-sari tirtha amertha dari tengah-rengah
samudera, sebagai mana halnya para dewa dan raksasa mengaduk lautan susu pada
jaman dahulu kala. Setelah itu dilanjutkan dengan Upacara Purwa daksina, yaitu berjalan mengelilingi padmasana dengan membawa
pratima-pratima searah jarum jam
sambal mengulang-ulang nama suci Tuhan. Purwa
Daksina merupakan salah satu prosesi pujawali yang mengandung makna bahwa
kita harus mengagung-agung nama suci Tuhan, yang kedua adalah bahwa kita
sebagai manusia harus ikut memutar roda kehidupan di jalan kebenaran, Jika
tidak maka kita akan bisa bertahan hidup, demikian pula jika kita keluar dari
jalan dharma maka kita akan mendapatkan hukumanya. Dalam mengarungi kehidupan
ini terkadang kita mengalami suka dan duka yang datang silih berganti. Hukum
rta ini tidak bisa dihindari oleh manusia. Penderitaan yang muncul akibat
kegiatan kerja yang kita lakukan ibarat bisa, atau racun (wisaya) yang keluar dari proses pengadukan lautan kehidupan. Sebaliknya
kebahagiaan yang muncul dari kegiatan kerja kita ibarat tirtha amertha yang
memuaskan dahaga kita. JIka salah kita memutar roda kehidupan, maka bukanya
madu yang kita dapatkan melainkan racun. Tetapi terkadang walau kita sudah
memutar roda kehidupan di jalan kebenaran tetapi kita masih saja mendapatkan
racun (wisaya), itu adalah bagian dari hukum rta yaitu, lahir-mati, penyakit,
usia tua, dan penderitaan (janma mertyu
jara wyadi duhka dosa nudarsanam). Manusia tidak bisa terhindar dari hukum
rta, tetapi jika kita di jalan dharma maka penderitaan itu akan tetap kita
terima tetapi kita diberikan kekuatan batin untuk menghadapinya.
Acara
dilanjutkan dengan dharma wacana yang dibawakan oleh Ida Pedanda Gde Panji
Sogata dari Griya Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Beliau mengupas tentang
yajna. Beliau juga mengingatkan bahwa upacara menek bajang (raja sewala) yang dilaksanakan pada hari Jumat harus dimaknai
keseluruhan, bukan hanya sebagai kewajiban orang tua (membayar utang) kepada
leluhur (pitra rna) dan Tuhan (Dewa Rna), tetapi juga mengandung makna
bahwa kita harus mendidik anak-anak kita. Pendidikan juga merupaka kewajiban
dan hutang yang harus diberikan kepada anak-anak. Pada umur 1 sampai dengan 5
tahun kita harus memperlakukan anak seperti raja. Pada fase kedua yaitu umur 6
sampai dengan 10 tahun maka haru memberikan hukuman-hukuman yang sesuai jika
dia bersalah. Pada usia 11 dan seterusnya maka harus kita jadikan seperti
sahabat. Adakalanya orang tua terlalu memanjakan anak-anaknya karena terlalu
saying dengan anak. Dalam Slokantara dijelaskan ada 5 (lima) kewajiban mendasar
orang tua, yaitu: 1. Ametuwakaken
yaitu melahirkan putra yang suputra untuk meneruskan garis keturunan
leluhurnya, 2. Maweh binojana artinya
orang tua waib memberikan makan dan bekal materi kepada anaknya, 3. Mitulung urip yaitu orang tua wajib
memberikan perlindungan dan rasa aman kepada anaknya, 4. Mangupadaya artinya orang tua wajib memberikan pendidikan formal
dan non formal kepada anaknya, 5
sinangaskara artinya orang tua wajib mengadakan upakara yajnya yang
bertujuan untuk menyucikan rohani si anak. Upacara menek bajang, atau menek dehe
(raja sewala) sangat relevan dengan
kewajiban orang tua yang kelima yaitu sinangaskara,
yang mengusahakan kesucian bagi anaknya..
Pada hari Jumat yang
bertepatan dengan purnama sasih kalima upacara pujawali dilaksanakan. Upacara
Pujawali dipuput oleh Ida Pedanda Gde Panji Sogata, dari griya Lenteng Agung,
Jakarta Selatan. Upakara didahului dengan proses mecaru yang berfungi menjalin
hubungan yang harmonis kepada unsur alam (palemahan). Bhuta kala adalah unsur penyeimbang yang berperan menjaga
keseimbangan alam ini yang harus kita hormati malalui prosesi pecaruan. Acara
dilanjutkan dengan proses panglukatan bagi ibu-ibu yang sedang mengandung. Dan
yang tidak kalah penting adalah upacara pawintenan bagi serati banten dan ketua
Banjar se-Kota Batam. Upacara ini penting untuk memberikan kekuatan batin
kepada para serati bantendan ketua
Banjar dalam melaksanakan ngayah di pura dan mempelajari Weda pada tahapan
selanjutnya. Serati banten dan pengempon pura adalah bagian dari Tri Manggalaning Yajna yaitu: sang yajamana (pemilik yajna), serati banten dan manggala upacara, pemuput upacara. Winten berasal dari kata intan, di mana intan itu murni, bersinar
berkilau dan tajam. Dengan demikian peserta pewintenan diharapkan memiliki
pikiran yang suci, jernih dan tajam laksana intan, sehingga bisa mempelajari
Weda dan melakukan kegiatan ngayah di pura tanpa keraguan di dalam hati.
Upacara lain yang tidak kalah pentingnya adalah upacara menek bajang (raja sewala), Upacara Menek bajang atau menek dehe
merupakan Pergantian atau
masa transisi umur, kejiwaan remaja untuk menapak kehidupan menjadi manusia
yang sejati, untuk
itu perlu diadakan upacara Rajasewala agar
dapat menghindarkan dan mengurangi pengaruh buruk dari Butha Kala yang identik
dengan perilaku asuri sampad yang
cenderung memberi godaan Sad Ripu. Upacara
ini juga sebagai simbolis meningkatnya seorang anak
menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai
dengan makna kata dewasa, dari kata devasya yang artinya milik dewa atau
dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam sastra suci. Upacara ini juga bertujuan untuk memenuhi
Kewajiban orang tua terhadap anaknya untuk menemukan hakekat manusia yang
sejati. Orang tua memperoleh kesempatan untuk beryajna, menumbuh-kembangkan kepribadian
seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan
hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
Pelaksanaan Upacara ini merupakan tanggung jawab orang tua dalam menyucikan lahir
batin anaknya, sehingga dapat menjadi manusia yang sejati bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Secara spiritual, seseorang
yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang
Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia,
Atma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa
(Pitraloka). Acara dilanjutkan dengan dengan acara hiburan dan pementasan tari Barong rangda, dan diakhiri
dengan nyinep Ida Bethara.
Pujawali berjalan dengan lancer karena kerjasama
dari semua pihak. Tujuan dari pelaksanaan upacara yajna adalah lascarya, sidhi karya, dan labda karya yang pada akhirnya akan
memberikan damapak bagi umat baik kesucian batin dan kesejahteraan hidup.
Pujawali merupakan salah satu cara untuk tetap menegakkan dharma dan
membumikan, melestarikan ajaran Weda. Sebagaimana kita ketahui dalam sastra
suci bahwa makhluk hidup berasal dari makanan, makanan berasala dari tumbuhan,
tumbuhan berasal dari hujan, hujan berasal dari yajnya, dan yajna sendiri
bisa terlaksana karena kegiatan kerja (karma).
Maka kegiatan Yajna, bersedekah, tapa
brata, dan kegiatan kerja tidak boleh kita tinggalkan karena itu adalah pensuci
bagi orang yang memuja Tuhan.(batam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar