Rabu, 11 Februari 2015

PUJAWALI PURA AGUNG AMERTHA BHUANA BATAM




Ida Pedanda Gde Panji Sogata muput karya Melasti
Pada hari Jumat Kliwon, Wuku Tolu, 7 Nopember 2014 yang bertepatan dengan purnama sasih kelima, Umat Hindu di Kota Batam mengadakan Upacara Pujawali di Pura Agung Amertha Bhuana. Upacara pujawali merupakan bagian dari Dewa Yajna yang berarti memuja kembali keagungan Tuhan pada hari yang sudah ditentukan. Pujawali merupakan salah satu pembumian dan pelestarian ajaran Weda demi tetap tegaknya dharma di muka bumi ini. Upacara ini merupakan implementasi dari satyam (kebenaran), siwam (kesucian) dan sundaram (keindahan) yang pada akhirnya akan menciptakan lokasamgraha (tempat yang damai), dharma sidhiyartha yang berdasarkan Iksa (tujuan), sakti (kemampuan), desa (tempat), kala (waktu) dan tattwa (sastra suci). Pujawali Pura Agung Amertha Bhuana, Kota Batam mengambil tema: “melalui pujawali ini mari kita tingkatkan sradha dan bhakti serta tetap menjaga rasa kebersamaan dan persaudaraan di antara kita.” Tema ini sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang ini di mana kita hidup di tengah-tengah masayarakat yang beragam latar belakangnya sehingga sangat penting untuk menjaga rasa kebersamaan dan persaudaraan agar tercipta lokasamgraha atau tempat yang damai.

Persiapan Melasti
Pada hari sebelumnya yaitu hari Kamis, 6 Nopember 2014 umat juga mengadakan Melasti/mekiyis di danau Sei Ledi. Upacara ini selain untuk menyucikan sarana upakara berupa wastra dan pratima lainya, dalam sastra suci yang bahasa jawa kuna dijelaskan: “pamratista pesucian dewa kalinggania bethara kabeh”, juga bertujuan untuk memohon anugrah dan kesucian kepada Tuhan. Dalam Bahasa Jawa Kuna dijelaskan: “amet sarining tirtha kamandalu ring telenging segara” yang artinya menyerap sari-sari tirtha amertha dari tengah-rengah samudera, sebagai mana halnya para dewa dan raksasa mengaduk lautan susu pada jaman dahulu kala. Setelah itu dilanjutkan dengan Upacara Purwa daksina, yaitu berjalan mengelilingi padmasana dengan membawa pratima-pratima searah jarum jam sambal mengulang-ulang nama suci Tuhan. Purwa Daksina merupakan salah satu prosesi pujawali yang mengandung makna bahwa kita harus mengagung-agung nama suci Tuhan, yang kedua adalah bahwa kita sebagai manusia harus ikut memutar roda kehidupan di jalan kebenaran, Jika tidak maka kita akan bisa bertahan hidup, demikian pula jika kita keluar dari jalan dharma maka kita akan mendapatkan hukumanya. Dalam mengarungi kehidupan ini terkadang kita mengalami suka dan duka yang datang silih berganti. Hukum rta ini tidak bisa dihindari oleh manusia. Penderitaan yang muncul akibat kegiatan kerja yang kita lakukan ibarat bisa, atau racun (wisaya) yang keluar dari proses pengadukan lautan kehidupan.   Sebaliknya kebahagiaan yang muncul dari kegiatan kerja kita ibarat tirtha amertha yang memuaskan dahaga kita. JIka salah kita memutar roda kehidupan, maka bukanya madu yang kita dapatkan melainkan racun. Tetapi terkadang walau kita sudah memutar roda kehidupan di jalan kebenaran tetapi kita masih saja mendapatkan racun (wisaya), itu adalah bagian dari hukum rta yaitu, lahir-mati, penyakit, usia tua, dan penderitaan (janma mertyu jara wyadi duhka dosa nudarsanam). Manusia tidak bisa terhindar dari hukum rta, tetapi jika kita di jalan dharma maka penderitaan itu akan tetap kita terima tetapi kita diberikan kekuatan batin untuk menghadapinya.
          Acara dilanjutkan dengan dharma wacana yang dibawakan oleh Ida Pedanda Gde Panji Sogata dari Griya Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Beliau mengupas tentang yajna. Beliau juga mengingatkan bahwa upacara menek bajang (raja sewala) yang dilaksanakan pada hari Jumat harus dimaknai keseluruhan, bukan hanya sebagai kewajiban orang tua (membayar utang) kepada leluhur (pitra rna) dan Tuhan (Dewa Rna), tetapi juga mengandung makna bahwa kita harus mendidik anak-anak kita. Pendidikan juga merupaka kewajiban dan hutang yang harus diberikan kepada anak-anak. Pada umur 1 sampai dengan 5 tahun kita harus memperlakukan anak seperti raja. Pada fase kedua yaitu umur 6 sampai dengan 10 tahun maka haru memberikan hukuman-hukuman yang sesuai jika dia bersalah. Pada usia 11 dan seterusnya maka harus kita jadikan seperti sahabat. Adakalanya orang tua terlalu memanjakan anak-anaknya karena terlalu saying dengan anak. Dalam Slokantara dijelaskan ada 5 (lima) kewajiban mendasar orang tua, yaitu: 1. Ametuwakaken yaitu melahirkan putra yang suputra untuk meneruskan garis keturunan leluhurnya, 2. Maweh binojana artinya orang tua waib memberikan makan dan bekal materi kepada anaknya, 3. Mitulung urip yaitu orang tua wajib memberikan perlindungan dan rasa aman kepada anaknya, 4. Mangupadaya artinya orang tua wajib memberikan pendidikan formal dan non formal kepada anaknya, 5 sinangaskara artinya orang tua wajib mengadakan upakara yajnya yang bertujuan untuk menyucikan rohani si anak. Upacara menek bajang, atau menek dehe (raja sewala)  sangat relevan dengan kewajiban orang tua yang kelima yaitu sinangaskara, yang mengusahakan kesucian bagi anaknya..  
Pada hari Jumat yang bertepatan dengan purnama sasih kalima upacara pujawali dilaksanakan. Upacara Pujawali dipuput oleh Ida Pedanda Gde Panji Sogata, dari griya Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Upakara didahului dengan proses mecaru yang berfungi menjalin hubungan yang harmonis kepada unsur alam (palemahan). Bhuta kala adalah unsur penyeimbang yang berperan menjaga keseimbangan alam ini yang harus kita hormati malalui prosesi pecaruan. Acara dilanjutkan dengan proses panglukatan bagi ibu-ibu yang sedang mengandung. Dan yang tidak kalah penting adalah upacara pawintenan bagi serati banten dan ketua Banjar se-Kota Batam. Upacara ini penting untuk memberikan kekuatan batin kepada para serati bantendan ketua Banjar dalam melaksanakan ngayah di pura dan mempelajari Weda pada tahapan selanjutnya. Serati banten dan pengempon pura adalah bagian dari Tri Manggalaning Yajna yaitu: sang yajamana (pemilik yajna), serati banten dan manggala upacara, pemuput upacara. Winten berasal dari kata intan, di mana intan itu murni, bersinar berkilau dan tajam. Dengan demikian peserta pewintenan diharapkan memiliki pikiran yang suci, jernih dan tajam laksana intan, sehingga bisa mempelajari Weda dan melakukan kegiatan ngayah di pura tanpa keraguan di dalam hati. Upacara lain yang tidak kalah pentingnya adalah upacara menek bajang (raja sewala), Upacara Menek bajang atau menek dehe merupakan Pergantian atau masa transisi umur, kejiwaan remaja untuk menapak kehidupan menjadi manusia yang sejati, untuk itu perlu diadakan upacara Rajasewala agar dapat menghindarkan dan mengurangi pengaruh buruk dari Butha Kala yang identik dengan perilaku asuri sampad yang cenderung memberi godaan Sad Ripu. Upacara ini juga sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devasya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam sastra suci. Upacara ini juga bertujuan untuk memenuhi Kewajiban orang tua terhadap anaknya untuk menemukan hakekat manusia yang sejati. Orang tua memperoleh kesempatan untuk beryajna, menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia. Pelaksanaan Upacara ini merupakan tanggung jawab orang tua dalam menyucikan lahir batin anaknya, sehingga dapat menjadi manusia yang sejati bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Atma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Pitraloka). Acara dilanjutkan dengan dengan acara hiburan dan  pementasan tari Barong rangda, dan diakhiri dengan nyinep Ida Bethara.
Pujawali berjalan dengan lancer karena kerjasama dari semua pihak. Tujuan dari pelaksanaan upacara yajna adalah lascarya, sidhi karya, dan labda karya yang pada akhirnya akan memberikan damapak bagi umat baik kesucian batin dan kesejahteraan hidup. Pujawali merupakan salah satu cara untuk tetap menegakkan dharma dan membumikan, melestarikan ajaran Weda. Sebagaimana kita ketahui dalam sastra suci bahwa makhluk hidup berasal dari makanan, makanan berasala dari tumbuhan, tumbuhan berasal dari hujan, hujan berasal dari yajnya, dan yajna sendiri bisa terlaksana karena kegiatan kerja (karma). Maka kegiatan Yajna, bersedekah, tapa brata, dan kegiatan kerja tidak boleh kita tinggalkan karena itu adalah pensuci bagi orang yang memuja Tuhan.(batam)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar