Minggu, 04 Oktober 2015

PUJAWALI PURNAMA SASIH KAPAT PURA GIRINATHA PUNCAKSARI BINTAN


Pada hari Senin Kliwon, 28 September 2015 umat Hindu di Kota Tanjung Pinang, Kabupaten Bintan dan sekitarnya mengikuti prosesi pujawali. Walaupun kabut asap sedikit menggangu pernafasan, jarak pandang dan aktivitas lainya, tetapi umat Hindu tidak mengurungkan niatnya untuk melaksanakan pujawali, terlebih pada pujawali kali ini panitia menghadirkan 2 (dua) narasumber dari redaksi Media Hindu Jakrta yaitu Bapak Dewa Ketut Suratnaya dan Ibu Tiwi Susanti. Pujawali diikuti oleh lebih kurang 100 umat dari kota tanjung pinang, kabupaten Bintan dan beberapa umat Hindu dari Kota Batam yang bias menyempatkan diri hadir. Hadir dalam kesempatan itu Ketut Suardita, S.Pd, M.Pd selaku Pembimas Hindu pada Kanwil Kementerian Agama Prov. Kepulauan Riau, Purwadi, S.Ag selaku Penyuluh PNS Agama Hindu Provinsi Kepulauan Riau, kemudian Nyonya Dara Astuti selaku Ketua WHDI Prov. Kepulauan Riau, kemudian Penyelenggara Hindu Kantor Kemetenrian Agama Kota Batam Ketua PHDI, WDHI Kab. Bintan, PHDI dan WHDI Kota Tanjung Pinang dan pimpinan lembaga agama dan kegamaan lainya.

Pujawali selalu diidentikkan dengan hari ulang tahun pura. Tetapi bukan ulang tahun seperti yang kita tayakan setiapa tahunya. Pujawali diperingati secara berkala, ada yang setiap enam bulan ada juga yang setahun sekali, tergantung kemampuan umat Hindu. Pujawali diambil berdasarkan wewaran, wuku, sasih tidak berdasarkan tanggal seperti ulang tahun kita sebagai manusia. Pujawali lebih ke arah aktivitas spiritual, ritual umat Hindu untuk memuja kembali (Puja mewali) turunya Ida Bhetara yang bersthana di Pura yang kita usung.

Pada H-1 pujawali, umat Hindu di Tanjung Pinang dan Kabupaten Bintan dan sekitarnya mengikuti ruwatan/panglukatan Nawa Ratri dengan menggunakan sedikitnya 9 (sembilan) warna bunga ditambah air kelapa gading yang sudah tidak diragukan lagi kasiatnya. Tujuan dari panglukatan ini adalah menghilangkan segala jenis kekotoran batin akibat dari aktifitas pikiran, perkataan dan perbuatan kiita, ditambah lagi dengan gelombang suka dan duka yang selalu dialami manusia. Pikiran harus dimurnikan agar kita siap menerima gelombang suka dan duka kehidupan. Di rumah umat bisa sendiri melakukan pengkukatan dengan air kelapa gading pada saat bulan purnama. Di mana dupa yang menyala kita celupkan dalam air kelapa gading yang bermakna menghidupkan kekuatan Brahma dalam air kelapa gading itu setelah itu kita percikkan ke pelinggih, rumah, pekarangan, tubuh kita dan bisa di minum terutama oleh ibu yang sedang hamil, bias juga ketika energi sedang ngedrof. Banyak sekali permasalahan umat yang muncul, di sinilah peran rohaniawan di samping melayani umat di bidang ritual keagamaan, pendidikan pasraman, juga harus mampu memecahkan masalah umat, bimbingan konseling segala bidang dari kelahiran, perkawinan, kematian bahkan konsultasi secara skala dan niskala, sehingga umat akan tercerahkan secara skala dan niskala. Kita harus mampu menjawab tantangan dan permasalahan yang dihadapi oleh umat Hindu. Di satu sisi banyak sekali berita menggembirakan bahwa banyak umat lain yang berbondong-bondong pindah ke agama Hindu, terutama di Jawa, tetapi kita harus siap membina mereka, memberikan pelayanan manusa Yajña mulai dari kelahiran, raja sewala, pengurusan perkawinan, rumah ibadah, pendidikan pasraman sampai pada urusan pitra Yajña/pengebenan dan konseling permalahan kehidupan, niscaya umat yang baru masuk tidak kembali ke agama yang lama. Pemerintah bekersama dengan Parisada dan lembaga keagamaan lainya beserta umat Hindu harus bersatu memecahkan permasalahan ini.

Pujawali kali ini terbilang istemewa karena kembali bertepatan dengan bulan Purnama sekaligus gerhana bulan yang berwarna merah, walau tidak dapat terlihat di wilayah Indonesia.  Tentunya bulan Purnama sangat baik untuk melakukan aktifitas Yajña apalagi pujawali. Setelah persembahyangan bersama yang dipimpin oleh Jro Mangku Pasek Okadana, Pembimas Hindu memberikan kata sambutan. Dalam sambutanya Pembimas Hindu mengajak umat Hindu di Tanjung Pinang untuk menjaga kerukunan umat, persatuan umat. Jika sudah tidak rukun maka tidak akan nyaman dalam beribadah. Beliau juga memberi apresiasi yang tinggi kepada panitia pujawali yang telah bekerja keras mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan hingga pada proses laporan pertanggung jawaban pelaksanaan Pujawali. Tidak lupa beliau sekaligus mewakili umat Hindu Kota Tanjung Pinang megucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu jalannya pujawali dari awal sampai akhir.

Selanjutnya umat Hindu Tanjung Pinang mendengarkan dharma wacana, kali ini dibawakan oleh Dewa Ketut Suratnaya dari Media Hindu Jakarta. Dalam dharma wacananya beliau menyatakan bahwa Pujawali pada umumnya diawali dengan prosesi Mecaru. Mengapa harus mecaru? Mecaru berasal dari kata “car” yang artinya bersih. Membersihkan energi negatif, mengubah dominasi energi negatif menjadi energi positif. Mecaru adalah persembahan pada Bhuta atau kekuatan alam, pada penguasa ruang dan waktu (kala). Mecaru juga bisa dimaknai sebagai persembahan pada pertiwi karena manusia hidup di atas bumi, sehingga manusia harus hormat kepada Ibu pertwiwi (bumi). Mecaru dapat menyucikan area pura, meningkatkan energi spiritual pura atau skaralisasi area pura. Caru biasanya di sertai dengan ayam dan banten lainya seperti daksina. Pada tingkatan energi bulu-bulu ayam akan bekerja untuk membersihkan energi yang negatif di area  pura. Sehingga ke depannya energi pura dapat bekerja dengan sendiri untuk membersihkan kekotoran yang ditimbulkan oleh ulah manusia baik sengaja maupun tidak sengaja. Mengapa caru harus disertai dengan banten daksina?, sebab kalau tidak maka roh sang ayam tidak akan mengalami evolusi roh ke arah yang lebih baik, dan jika hal ini terjadi maka hal ini tidak lebih dari pembunuhan terhadap ayam itu sendiri, ayam tidak mengalami roh yang lebih baik. Di sinilah pentingnya banten daksina sebagai media pengantar roh sang ayam. 

Banten pujawali secara umum ada 3 (tiga) fungsi yaitu:  byakala, atau bermakna persembahan kepada bhuta kala atau ebayar “bya” kala yaitu membayar hutang kepada ruang dan waktu dan penguasa waktu “kala: itu sendiri. Manusia berhutang kepada raung dan waktu, berhutang atas hidup dan waktu untuk bernafas. Yang kedua adalah banten durmanggala yang biasanya ada kelapa hijaunya sebagai simbol Wishnu yang memelihara ciptaan Brahma pada proses penciptaan. Kemudian ada unsur prayascita yang berfungsi pembersihan akhir dan membersihkan sifat—sifat Yajña yang rajasik dan tamasika menjadi sattwika. Di sini peran Siwa lebih dominan dalam proses prayascita sehingga kehidupan manusia di bumi ini menjadi atenang dan damai. Pada tahap selanjutnya akan terjadi proses ektoplasma di mana terjadi persatuan antara yantra, tantra dan mantra sehingga Yajña menjadi sidhi. Yantra merupakan simbol-simbol/nyasa dalam upacara pujawali. Sedangkan tantra yang merupakan teknik dari menghidupkan mantra dan banten pujawlai itu sendiri. Terakhir adalah peran mantra yang diuncarkan manggalaning upacara juga menentukan keberhasilan Yajña. Mantra adalah kata – kata tetapi tidak semua kata-kata adalah mantra. Lalu kata-kata yang bagaimana agar bias disebu mantra? Tentunya kata-kata yang mengandung doa, kata-kata yang berasal dari Weda Sruti atau Smerti, kata-kata Weda yang diucapkan dengan penuh keyakinan akan keberhasilanya. Jika tidak memiliki sradha atau keyakinan terhadapa mantra maka lebih baik jangan ucapka mantra itu. Hal ini sangat luar biasa sehingga di sini kebehaslan karya akan terjadi sehingga ada istilah lascayra (keikhlasan) sehingga membuat karya menjadi sidhi karya (Yajña yang berhasil) dan labda karya (membawa kesejahteraan dan kesucaian umat). Unsur yantra, tantra dan mantra tidak bisa dipisahkan dalam proses Yajña baik oleh sang yajamana, serathi banten dan manggalaning upacara jika ingin berhasil. Jika ini terjadi maka pura dapat menyerap energi 3 (tiga) dewa yang kita kenal dengan Tri Murti dan energi dari ista dewata lainya terlebih leluhur. Sungguh lar biasa kekuatan dari yantra, tantra dan mantra.

Lalu mengapa harus ada mendak nuntun Ida Bhetara, mekalya hyas, purwa daksina dan tari rejang dewa? Perlu kita ketahui ada 3 (tiga) sifat Tuhan yaitu: Parama Siwa di mana Tuhan tidak ada pengaruh maya, tidak tepikirkan, acintya rupa, tidak berwujud. Kemudian Sada Siwa, di sini sudah ada sedikit pengaruh maya.  terakhir adalah Siwa di mana Tuhan sudah berwujud dan terjadi pengaruh maya dan suka dukkha kehidupan. Konsep Tuhan sebagai atau jiwa-jiwa dalam makhluk hidup yang sudah mengalami gelombang suka duka kehidupan, terkena pengaruh maya, panas dingin dan dualisme duniawi lainnya. Di sinilah ditemukan bukti bahwa Atman adalah Brahman itu sendiri yang ada pada setiap makhluk hidup dan terkenan pengaruh maya. Tuhan dalam prabhawa-Nya sebgai Ida Bhetara yang berstana di Pura dapat kita puja dengan visualisasi berupa simbol dan wujud tertentu, hal ini memudahkan kita untuk berkonsentrasi memuja Tuhan. Tuhan kita umpamakan seperti raja yang harus kita hormati, kita layani, kita buat beliau merasa senang dan inilah jalan bhakti yang sangat universal. Bahkan Atmasnastusti atau kepuasan batin dalam Yajña mendapat tempat yang tinggi dan menjadi sumber hukum Hindu sesuai yang tersurat dalam Kitab Manu Smerti atau Manawa dharma sastra. Sehingga sering kita umat Hindu melakukan menghias Ida Bhetara, menggotong jempana/daksina linggih Ida Bethara ke pura atau tempat suci lainya. Di sini bukan berarti Ida Bethara di Pura A kosong karena umatnya membawa daksina linggih Ida Bhetara ke Pura B atau tempat suci lainya. Di Jabodetabek biasa kita jumpai saat umat Hindu ngiring Ida Bhtetara ke pura lain yang sedang ada pujawali, mendak tirtha, nyegara gunung atau melasti. Kembali inilah penerapan konsep bhakti dan berkembang menjadi etika yang kita jadikan norma bersama dalam setiap upacara Yajña termasuk pujawali. Umat Hindu juga membuat banten gelar sanga untuk dimensi alam bawah. Ini untuk mengantisipasi kehadiran Ida Bhetara yang terkadang hadir sendiri, tetapi terkadang membawa banyak teman dan pasukanya.

Selanjutnya dalam pujawali biasanya umat Hindu melakukan aktifitas Purwa daksina biasanya berputar  mengelilingi padmasana searah jarum jam yang mengandung makna bahwa kita harus ikut memutar roda kehidupan di jalan yang benar. Jika kita tidak bekerja mencari nafkah maka kita akan tergials dalam perputaran roda kehiupan Purwa daksina juga merupan bentuk penghormatan kepada Tuhan seru sekalian alam agar dunia ini tetap tegak.


Lalu mengapa kita sembahyang harus ke pura? Pura mempunyai energi “datu” yang leih baik di banding datu di rumah atau di kantor. Tetapi terkadang kareana alasan tidak mau bergaul dengan orang lain kadang umat tidak mau ke pura karena berbagai alasan di antaranya bahwa Tuhan bisa di puja di mana saja, memang benar seperti itu akan tetapi pura jauh lebih baik dalam hal vibrasi dan kesucian. Akan berbeda jika kita sembahyang di rumah atau di tempat yang lainya. Kita duduk dan sembahyang saja sudah akan menerima vibrasi positif pura, apalagi kita melakukan meditasi, japa dan yoga lainya. Pelinggih pura juga memiliki fungsi yang sangat besar dalam proses pemunian pikiran karena pelinggih berfungsi sebagai akses menuju Tuhan. Dengan alasan ini maka umat Hindu harus memberdayakan pura, umat harus pergi ke pura karena Pura mempunyai Datu yang lebih baik dibandingkan sembahyang di rumah. Panca Datu mewakili lima elemen logam dan juga unsur Panca Maha Bhuta. Datu tidak hanya di tanam di pura, tetapi juga bisa di rumah, kantor, dan bahkan dalam tubuh manusia. Dalam tubuh manusia ada unsur panca datu yang harus dihidupkan agar bermanfaat bagi hidup kita yaitu: getah bening, lemak, daging, tulang, sungsum. Di rumah juga bisa ditanam jahe, lengkuas kunyit jadi satu dalam satu pot tanaman atau tanah.

Pada pekembanganya peran pemangku dan pinandita harus kita tingkatkan. Jangan kita batasi. Kalau dulu pemangku hanya bertugas memberikan pelayanan di bidang upakara Yajña, maka sekarang pemangku bertugas memberikan peyuluhan umat dan bimbingan konseling tenis keagamaan lainnya. Pemangku pada perkembanganya berhak untuk muput upacara Yajña termasuk karya pujawali. Di sini terkadang umat terlalu takut dan beranggapan bahwa seolah-olah pujawali harus dipuput oleh seorang sulinggih atau dwijati seperti pedanda, Ida Resi, dan sebagainya, sehingga peran pemangku termarinalkan. Jika umat terbingungkan oleh rohaniawan maka kembalilah ke sastra. Tuhan dalam Bhagavadgita mengatakan bahwa hendaknya orang suci yang bijaksana tidak membingungka umat demu kepentingan materi dan kepenteingan lainnya. Dalam sastra sebuah uaakara harus ada tri Manggalaning upakara yaitu sang yajamana, serathi banten dan manggalaning upakara. Pemuput Yajña tidak harus sulinggih untuk tingkatan pujawali. Di sini harus ada sinergi dan hubungan antara tri Mangalaning Yajña. Satu dengan yang lain tidak dapat terpisahkan keberadaanya, sehingga yajnya yang satwika dapat terwujud.

Untuk mewujudkan pelaksanaan Yajña yang sāttwika, ada tujuh syarat yang wajib untuk dilaksanakan sebagai berikut: 1) Śraddhā artinya dalam melaksanakan Yajña harus keyakinan, jika tidak maka akan sa-sia. 2) Lascarya artinya ikhlas. 3) Śāstra yaitu pelaksanaan Yajña harus berdasarkan sumber śāstra yaitu śruti, smŗti, śila, ācāra, ātmanastuṣṭi. 4) Dakṣiṇa adalah harus ada persembhan benda atau uang. 5) Mantra dan Gītā adalah pelaksanaan Yajña dengan Mantra dan melantunkan lagu-lagu suci/kidung untuk pemujaan. 6) Annasewa, yaitu dalam upacara yaja harus ada persembahan makan kepada para tamu yang menghadiri upcara (Atithi Yajña). 7) Nāsmita adalah Yajña yang dilaksanakan dengan tujuan bukan untuk memamerkan kemewahan dan kekayaan.

kualitas suatu upakara tergantung pada ketulusan, karena kemewahan upakara yang bukan merupakan jaminan yang mutlak keberhasilan upakara yang dilakukan oleh umat. Agar sebuah upaara Yajña behasil maka harus ada unsur Panca Tarka yaitu Iksa atau tujuan dari upakara Yajña, Śakti atau kemampuan umat, desa atau tempat berlangsungnya upakara, kalau upakara dilaksanakan di Kep Riau dan Tanjung Pinang maka akan berbeda dengan pelaksanaan upakara yajna di Bali. kemudian kala atau waktu, yang terakhir adalah tattwa, di mana yajna harus berpedoman pada śāstra Agama. Jangan jor – joran dan merusak kelangsungan alam dan makhluk hidup. Tetapi jangan juga pelit, mampu melakukan upakara yajna tetapi pura-pura tidak mampu, sehingga proses yajna dan dana punia tidak berjalan. Dalam sepbuah yajna jika ingin berhasil maka harus ada daksina kepada rohaniawan dan annasewa atau permbahan makanan baik kepada rohaniawan dan umat Hindu. Jika rohaniawan tidak diberi daksina dan pulang dengan perut yang belum terisi makanan, maka yajan upakara sebesar apapun akan menjadi pahala rohaniawan yang muput karya upakar yajna termasuk pujawali. Ini harus kita pikirkan bersama agar sebuah yajna menjadi lascarya, sidhi karya dan labda karya.  Sehingga akan terwujud loka samgraha, semoga.


Kamis, 03 September 2015

FOKUS GROUP DISCUSSION (FGD) BAPPENAS TENTANG KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Pada Hari Kamis Tanggal 27 Agustus 2015 Bappenas menyelenggarakan Focus Group Disccusion (FGD) di Hotel Aston, Kota Tanjung Pinang, Prov. Kepulauan Riau, jam 09.00 WIB s/d selesai. Peserta terdiri dari Sekretaris Ditjen Unit Eselon I Pusat, Ka-Biro Perencanaan, Ka-PKUB Pusat, Ka-Balitbang Kemenag Pusat, Ka-Kanwil Kemenag Kepri, Pembimas, Pemda Prov. Kepr, Riau, FKUB, dan Lembaga Agama/Majelis dari 6 (enam) agama) seperti pada lampiran Undangan.  Sekretaris Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI diundang sebagai peserta aktif pada acara tersebut. Dari Kementerian Agama Ri Pusta Mei 2015, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kepulauan Riau menyelenggarakan Kegiatan Gerak Jalan Santai Kerukunan Umat beragama Se-Prov. Kepulauan Riau.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Republik Indonesia Tahun 2015 s/d 2019 yang didasarkan pada Nawa Cita (Sembilan Janji Pemerintahan Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla) Buku I Cita ke-9, meningkatkan kerukunan uma beragama merupakan kebijakan prioritas untuk mewujudkan sasaran yaitu meningkatnya harmoni sosial dan kerukunan umat beragama. Sehubungan dengan hal tersebut maka Direktoorat Agama, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan kebijakan dan strategi peningkatan kerukunan umat beragama.
  
Pelaksanaan  kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan pendampingan Sekretaris Ditjen Bimas Hindu sebagai bentuk kepatuhan kepada Pimpinan Pusat dalam hal ini Ditjen Bimas Hindu. Di samping juga untuk menambah wawasan kerukunan umat beragama di Prov. Kepualuan Riau.

Sekretaris Ditjen Bimas Hindu tiba di Bandara Raja Haji Fisa Bililah Kota Tanjung Pinang pada hari Rabu, 26 Agustus 2015 pada pukul 13.00 WIB; Mendampingi Sekretaris Ditjen Bimas Hindu untuk survey lokasi Pura Giri Natha Puncak Sari, Kab. Bintan, Prov. Kepulauan Riau pada hari Rabu, 26 Agustus 2015, bersama Pembimas Hindu Kanwil Kemenag Kep. Riau, dan Penyuluh Agama Hindu PNS Kanwil Kemenag Prov. Kep. Riau, sehari sebelum kegiatan FGD. Mendampingi Sekretaris Ditjen Bimas Hindu Kementerian Agama Ri pada acara FGD yang diselenggarakan oleh Bappenas pada hari Kamis, tanggal 27 Agustus 2015 jam 09.00 s/d selesai di Ruang Rapat Hote Aston Tanjung Pinang, JL. Adi Sucipto KM 11, Kepulauan Riau;

Acara diikuti oleh lebh kurang 30 peserta dari unsur:
a.       Kementerian Agama RI Pusat sebanyak 8 peserta
b.      Kanwil Kementerian Agama Prov. Kepulauan Riau sebanyak 10 (sepulu) peserta;
c.       Unsur Pemerintah Daerah (Pemda) Prov. Kepulauan Riau sebanyak 2 (dua) peserta;
d.      FKUB Prov. Kepulauan Riau sebanyak 1 (satu) peserta
e.       FKUB Kota Tanjung Pinang sebanyak 1 (satu) peserta;
f.       Lembaga Agama/Majelis dari semua agama sebanyak 8 (delapan) peserta.

Acara dibuka secara ressmi oleh Direktur Agama Kebudayaan, Pemuda dan olah Raga Bappenas. Paparan Narasumber yang pertama disampaikan oleh Drs. H. Marwin Jamal (Ka-Kanwil Kementerian Agama Prov. Kepualauan Riau) dengan materi ”Analisis Kebijakan Peningkatan Kerukunan Umat Beragama. Dilanjutkan dnegan paparan narasumber yang ke-2 Oleh Drs. H. Razali Jaya (selaku ketua FKUB Prov kepualuan Riau) dengan materi: ”Strategi Internalisasi Nilai-Nilai Kerukunan dalam Kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Paparan Narasumber yang k-3 disampaikan oleh Edy Akhyari, M.Si (Akademisi UMRAH Tanjung Pinang Kepulauan Riau). Setelah Narasumber menyampaikan materinnya, Sekretaris Ditjen Biamas Hindu sebagai peserta aktif menyampaikan tanggapanya, sebagai berikut:
a.    Kondisi kerukunan intern Umat Hindu di Indonesi dan di Prov. Kep. Riau sudah kondusif, demikian pula dengan antar umat beragama;
b.   Jika terjadi keributan di beberapa daerah seperti di Lampung, Sumbawa, dsb sebenarnya itu hanya masalah probadi yang membawa masalah SARA. Kemajuan teknolgi informasi bisa disalahgunanakan untuk memperburuk suasana;
c.    Semua umat beragama harus mematuhi SKB tiga menteri dalam hal pembangunan rumah ibadah;
d.   Permasalah di akar rumput harus mendapat perhatian kita bersama;
e.    Bimas Hindu menyamapaikan terima kasih kepada Pemda dan Unsur terkait perihal pembinaan kerukunan umat beragama;


Kegiatan ini positif  karena merupakan media untuk  mengavulasi kelemahan dan hambatan dalam realisasi Kerukuanan Umat beragama di prov. Kepualauan Riau khusunya dan di di Indonesia pada umumnya. Kegiatan ini harus berkesinambunagn setiap tahunya, karena sangat efektif sebagai media mempererat persaudaraan antar umat beragama.



Rabu, 15 Juli 2015

Makna Hari Raya Galungan


Perayaan Galungan bagi umat Hindu di Indonesia sudah sangat memasyarakat dari abad keabad. Tetapi sangat kita sayangkan memasyarakatnya Galungan tersebut sangat tidak seimbang antara Tattwa atau kasuksmaan Galungan, Susila dengan Upakaranya. Artinya antara Tattwa yang tercamtum dalam teks pustaka Sundarigama dengan wujud susila dan upakara Galungan dalam kehidupan empirisnya sampai saat ini masih tidak nyambung. Bahkan kadang-kadang bertentangan.antara Tattwa Galungan yang  demikian luhur dan ideal dinyatakan dalam teks Pustakanya dengan kenyataan perayaan Galungan dalam kehidupan empiris setiap dalam kehidupan empiris setiap perayaan Galungan yang dirayakan setiap enam bulan wuku (210 hari). Ada kalanya disuatu waktu dan tempat perayaan Galungan lebih menonjolkan perayaan Galungan dengan meriahnya upakara yajna. Makan masakan khas daerah yang lebih nikmat dari sehari-harinya. Demikian pula Galungan diwujudkan dengan berpakaian serba baru,pergi ketempat-tempat hiburan dan melakukan hal-hal yang lebih menekankan keikmatan indria. Padahal Galungan adalah sebagai suatu peringatan untuk menajamkan daya spiritual untuk mensinergikan penerapan Jnyana atau ilmu pengetahuan suci untuk mencerahkan hati nurani umat sehingga dapat membangun kehidupan yang cerah dan bergaiarah untuk mengamalkan Dharma. Sesungguhnya Perayaan Galungan adalah untuk mengimplementasikan Tattwa Galungan banyak hal yang dapat kita perbuat dengan mengembangkan Tattwa Galungan kedalam berbagai program nyata sehingga Tattwa Galungan menjadi nyata dalam wujud susila dan upakara nya Inilah tujuan utama penulisan tentang Galungan dan Kuningan dalam tulisan singkat ini.
        Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama : manis. Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu popular dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti. Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang act Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya,
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka”.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi ketika Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek. Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilahDewa Sraya artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata. Raja Sri Jayakasunu mendapatkanpawisik atau“bisikan religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendekkarena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.
            Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia. Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan karaksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujuddharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan menangnya dharma melawan adharma. Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga tawulan (Olehkarenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan. Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung Jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan. Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaningsang ngamongyoga samadhi.” Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban. Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri. Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melampiaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria. Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini, dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirghayusaan yaituhidup sehat panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata.
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut Kuningan. Dalam lontar Sunarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga). Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel), Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut: Galungan: Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya, Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan. Galungan Nadi: Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober. Galungan Nara Mangsa: Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. (Bimas Hindu Batam)


Selasa, 30 Juni 2015

DHARMA CAMP PASRAMAN KEPRI


Pada hari Sabtu, 27 Juni s/d Minggu 28 Juni 2015 Pasraman (sekolah Minggu Agama Hindu) yang berada di Provinsi Kep. Riau yaitu Pasraman Jnana Sila Bhakti Kota Batam, Pasraman Brahma Widya Satwika Kab. Bintan mengadakan kegiatan Dharma Camp Pasraman Kepri di Pantai Trikora Kab, Bintan Prov. Kepulauan Riau. Kegiatan Dharma Camp Pasraman adalah semacam kegiatan Perkemahan Sabtu Minggu (Persami) yang dikemas dengan nuansa keagamaan Hindu yang diselingi dengan kegiatan outbond/mengenal alam, fun (bermain) dan dinamika kelompok. Acara ini juga bertujuan untuk mengisi waktu liburan semester II siswa-siswa pasraman sehingga tidak jenuh dan diisi dengan hal-hal yang bermanfaat untuk kemajuan rohani generasi muda, di samping juga untuk pembentukan karakter generasi muda Hindu. Acara diikuti oleh lebih kurang 140 peserta yang terdiri dari siswa siswi pasraman se-Kepri, guru-guru pasraman, para orang tua murid dan juga perwakilan lembaga agama dan keagamaan Hindu se – Kepri seperti WHDI, Parisada, DPP Peradah dan masih banyak lagi. Tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan sradha (iman) dan bhakti kepada Tuhan, di samping itu juga untuk menambah wawasan nusantara, nasionalisme, dan patriotism, mengenal lingkungan alam, kekompakan, kerjasama tim dan tentunya untuk menerapkan ajaran-ajaran agama Hindu. Kegiatan ini didukung oleh Pemerintah dalam hal ini Bimas Hindu Kementerian Agama Kanwil Prov. Kepulauan Riau dan Bimas Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Batam serta lembaga agama dan keagamaan Hindu se Prov. Kep. Riau.

Acara diawali dengan tirtha yatra (berkunjung ke tempat suci seperti pura) di Pura Dharma Kerti, Lagoi, Kab. Bintan. Para peserta mengikuti acara persembahyangan dengan khusuk. Dalam sela-sela acara itu ketua Parisada Kab. Bintan, Nyoman Wiarta menjelaskan sejarah berdirinya Pura Dharma Kerti yang dimulai dari keinginan umat Hindu di Kabupaten Bintan untuk memilikki tempat suci yang bias digunakan untuk melakukan kegiatan ibadah umat Hindu. Pura ini disungsung oleh sekitar 80 KK. Setelah persembahyangan selesai acara dilanjutkan dengan pembagian tim outbond menjadi 3 (tiga) tim yaitu Tim Cakra, Tim Gada dan Tim Trisula. Ketua kelompok bertanggung jawab atas keamanan dan keselamatan anggotanya. Di sini para guru pasraman yang merupakan panitia mendidik siswa pasraman untuk belajar bertanggung jawab. 

Acara dilanjutkan dengan tritha yatra ke Pura Giri Natha Puncak Sari Kota Tanjung Pinang. Perjalanan ditempuh dengan waktu 90 menit. Para peserta harus berjalan kaki menuju bukit tempat berdirinya pura Giri Natha Puncak sari, Karen lahan parkir yang tersedia sangat terbatas untuk bus. Usaha jerih payah para peserta terbayar sudah ketika mereka sudah sampai di puncak Bukit. Pemandangan begiru indah. Para peserta Dharma Camp melakukan persembahyangan untuk meningkatkan sradha (keimanan) dan bhakti. Di akhir acara, Purwadi selaku pemangku (rohaniawan) yang juga merupakan Penyuluh Agama Hindu PNS memberikan sambutan dan menceritakan sejarah berdirinya Pura Giri Natha Puncak Sari Bintan. Perjalanan dilanjutkan perjalanan menuju Pantai trikora (lokasi outbond).

Setelah tiba di lokasi, para peserta dibantu panitia mendirikan tenda untuk dijadikan tempat tidur di malam hari. Kemudian peserta melakukan doa bersama memohon keselamatan bersama karena bagaimanapun juga kegiatan ini dilaksanakan di alam terbuka yaitu di Pantai Tri Kora. Segala kemungkinan bisa saja terjadi pada para peserta. Acara berikutnya adalah paparan-paparan narasumber (class). Adapun paparan materi yang pertama yang disampaikan oleh Ketut Suardita, S.Pd, M.Pd selaku Pembimas Hindu Kanwil Kementerian Agama Prov. Kepulauan Riau. Dalam paparanya Pembimas Hindu menyampaikan bagaimana cara menghormati orang tua yang melahirkan, membesarkan dan mengasuh kita. Kita harus membayar hutang kepada orang tua dengan melayani, menghormati meraka, rajin belajar dan tidak lupa dengan orang tua ketika kita sukses nantinya. Siswa-siswa pasraman juga dihimbau untuk menghormati atur Guru yang lain yaiu pemerintah,  dan guru di sekolah. Di samping itu Pemateri juga menyampaiakan cerita-cerita kepahlawanan Mahabharata yang membuat anak-anak tertarik untuk mengikutinya. Adapun pemateri ke-dua adalah Drs. I Wayan Catra Yasa, MM yang merupakan sesepuh umat dan Ketua Paruman Walaka Parisada Prov. Kep. Riau. Dalam Paparannya beliau menyampaiakan kewajiban siswa pada masa brahmacari (masa menuntut ilmu) agar nantinya menjadi putra yang suputra yaitu generasi muda yang mempunyai jiwa dan kemampuan yang tangguh.

Setelah selesai mengikuti materi dari narasumber peseta harus melaksanakan kegiatan outubon jurit malam. Di Pos pertama anak-anak harus berhasil membuat tandu yang sudah disiapkan oleh panitia. Pos II peserta wajib mengikuti test konsentrasi. Di Pos III diajak untuk mengenal lingkungan alam dan pos IV diajak untuk lebih dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa. Acara diakhiri dengan api unggun, di mana para peserta wajib menampilkan yel – yel terbaik dari masing-masing kelompok dan lagu pilihan lainya. Kegiatan Jurit malam diakhiri dengan renungan malam yang dipimpin oleh Drs. I Wayan Catra Yasa, MM. Anak-anak diajak untuk merenungi dosa dan kesalahan terutama kepada orang tua kita. 

Pada hari Minggu, 28 Juni 2015 acara diawali dengan kegiatan Yoga (senam rohani) yang dipimpin oleh Dada Suresh (umat Hindu etnis India yang merupakan Guru Yoga). Para peserta wajib melakukan gerakan Surya Namaskar (penghormatan pada matahari sebagai awal dari kehidupan) yang diakhiri dengan puja tri Sandya (permbahyangan) di pagi hari. Setelah anak-anak sarapan dan mandi acara dilanjutkan dengan dinamika kelompok dengan memasukan air ke dalam botol dan memasukkan bola ke dalam botol. Anak-anak wajib mengikuti sesi tali heksa gonal di mana peseta harus berhasil memasukkan ballpoint yang diikat dengan tali heksa gonal ke dalam botol. Dinamika kelompok terakhir adalah lempar lembing yaitu membidik sasaran berupa lingkaran dengan jarak yang telah ditentukan. Acara diakhiri dengan penutupan dan pengumuman hasil lomba sert penyampaian pesan dan kesan. Peserta berharap kegiatan semacam ini dapat terus dilaksanakan. Panitia juga diharap untuk lebih melakukan efesiensi waktu dan sebagainya. Semua jerih payah anak – anak peserta Dharma Camp terbayar setelah hasil lomba diumumkan den mereka mendapat penghargaan yang luar biasa dari panitia.





Pujawali Tumpek Wariga Pura Satya Dharma Muka Kuning, Batam Indo, Kota Batam

Pujawali Tumpek Wariga Pura Satya Dharma, Muka Kuning Batam Indo Kota Batam, Sabtu 20 Juni 2015.

Pemaknaan Pujawali sebagai sebuah prosesi Upacara Dewa Yajna. Pujawali merupakan aplikasi dari konsep satyam sivam sundaram yang bertujuan untuk membumikan ajaran Weda. Menegakkandharma, huku rta di muka bumi

Satyam brhad rtam ugram diksa tapo brahma yajna
erthiwim dharayanti

Pujwali kali bertepatan dengan Tumpek Wariga hari di mana SIwa Mahadewa sebagai Dewa Sangkara turun untuk memberi anugerah melalui tumbuh-tumbuhan. Tumpek Wariga juga merupakan rangkaian Hari Raya Galungan.

Anaad bhavanti bhutani
prajnaad anna sambhavah
yajan bhavati parjanyo
yajnad karam samudbhavah

makhluk hidup berasal dari makanan
makanan berasal dari tumbuh - tumbuhan
tumbuh-tumbuhan berasal dari hujan
hujan bersal dari yajna
yajna berasal dari karma


Selasa, 09 Juni 2015

Harmonisasi Antar Tokoh Agama Se-Kota Batam

Pada hari Rabu, 10 Juni 2015 Kanto Kementerian Agama Kota Batam menyelenggarakan Kegiatan harmonisasi antar tokoh agama se-Kota Batam. Kegiatan ini bertujuan untuk menyatukan visi dan misi sekaligus harmonisasi atas isu - isu aktual kaitanya dalam kehidupan umat beragama di kota Batam. Kegiatan ini dibuka secara langsung oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Batam, yang dalam hal ini diwakili oleh Kasubbag Tata Usaha, H. Muhammad Dirham, S.Ag, M.Sy.dalam sambutanya beliau menyampaikan betapa pentingnya menjaga Tr Kerukunan antar umat beragama di kota Batam.

Materi Pertama dsisampaikan oleh H. Rustam Effendy Bangun (Ketua FKUB Kota Batam) dengan materi Peranan FKUB dalam Rangka menjaga Kerukunan Umat Beragama Kota Batam. Adapn materi yang kedua adalah Narasumber dari FKUB Prov. Kepulauan Riau, H. Razali.



Diskusi Interatif Kerukunan Umat Beragama di Kota Batam

DIskusi Interaktif Kerukunan Beragama di Batam TV antara Komite Peduli Kemanusisaan Kota Batam dan FKUB Kota Batam mebahas rencana aksi terhadap pengungsi Rohingya ynag dipelopori oleh Kantor Kementerian Agama Kota Batam

BIMAS HINDU KOTA BATAM MENGADAKAN PEMBINAAN PENGURUS PURA TAHUN 2015


Pada tanggal 6 s/d 7 Juni 2015, bertempat di aula Pura Agung Amertha Bhuana Kota Batam, Penyelenggara Bimas Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Batam menyelenggarakan Kegiatan Pembinaan Pengurus Pura Tahun 2015. Kegiatan ini diikuti oleh 35 (tiga puluh lima) peserta yang berasal dari perwakilan banjar dan Pengurus Pura se-Kota Batam. Kegiatan yang bersumber pada DIPA Bimas Hindu Kementerian Agama Kota Bata mini dilaksanakan di kawasan pura, bukan lagi di hotel yang mewah. Hal ini lebih member kesan bahwa telah terjadi efesiensi dan efektifitas sehingga bias penghematan dan lebihh dekat dengan umat Hindu. Dibuka secara resmi oleh Drs. H. Zulkifli, Aka, M.Si, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Batam. Dengan mengambil tema “Melalui Pembinaan Pengurus Pura tahun 2015 di Kota Batam kita wujudkan manajemen pengelolaan pura yang modern” diharapkan pengurus pura dapat menerapkan manajemen pengelolaan pura yang modern, menyesuaikan perkembangan zaman, pemanfaatan IPTEK yang lebih tepat guna, sehingga terjadi efektifitas dan efesiensi di samping informasi dapat segara sampai kepada umat. Di zaman modern seperti ini pura juga dituntut mampu memenuhi kebutuhan umat dalam hal peribadahan. Pura di samping sebagai tempat beribadah umat Hindu juga bisa diberdayakan untuk pusat pendidikan, pusat budaya, ekonomi dan aktivitas lainya. Dalam sambutanya Kepala Kantor menekankan pentingnya kita menjaga kebersamaan. Kerukunan untuk mewujudkan Batam sebagai Bandar dunia yang madani. Beliau berpesan agar acara serupa dapat terus ditingkatkan dan dikemas secara lebih apik dan lebih tepat sasaran.

Ada beberapa narasumber yang memberikan paparan materi. Paparan materi yang pertama adalah Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Batam yang mebahas tentang Penataan  Kerukunan Umat Beragama di Kota Batam. Dalam paparanya beliau kembali berpesan agar umat Hindu ikut bersama-sama membangun kota Batam, memajukan kota Batam dengan tetap menjaga persatuan dan kerukunan antar umat beragama. Hal ini penting mengingat tolok ukur keberhasilan pembangunan di bidang agama terletak pada salah satu indikator yaitu kerukunan umat beragama.

Paparan yang kedua adalah membahas peranan lembaga dalam pembinaan umat Hindu di Kota Batam. Beliau menegaskan bahwa tugas dan tanggung jawab lembaga parisada umat Hindu sangatlah berat karena meliputi berbagai aspek kehidupan umat seperti upakara, yajnya, perkawinan, hingga pada pengurusan kedukaan. Beliau juga menyampaikan visi dan misi parisada Hindu dharma yaitu Terwujudnya masyarakat Hindu dharma Indonesia yang sejahtera dan bahagia (moksa dan jagadhita) bersumber dari Pustaka Suci Weda. Meningkatkan perilaku pelaksanaan dan filsafat (tattwa), etika (susila) dan ritual (acara) Hindu dlm kehidupan beragama yg modern. Beliau juga menghimbau agar umat Hindu Kota Batam gemar berdana punia melalui sebuah Badan Dharma Dana Nasional (BDDN) Parisada.

Narasumber yang ketiga adalah Penyelenggara Hindu Kota Batam. Dalam paparanya penyelenggara Hindu menyampaikan materi Pemberdayaan Potensi Umat dan Pura di samping juga program-program visi misi Bimas Hindu yaitu Terwujudnya masyarakat Hindu Kota Batam yang taat beragama, maju, sejahtera dan cerdas serta saling menghormati antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam wadah kesatuan NKRI.  Penyelanggara Hindu juga menekankan akan penting berdaya punia sebagai Pemberdayaan ekonomi Umat. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah membentuk sebuah Badan Dharma Dana Nasional (BDDN) yang bertugas menghimpun dana punia dari umat. Umat Hindu harus mendukung program Parisada karena peruntukan dari dana punia yang terkumpul adalah untuk beasiswa pendidikan, pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi umat Hindu.

Pada hari Kedua diawali dengan paparan Drs. I Wayan Catra Yasa, MM dengan materi Manajemen Pembinaan Pengelolaan Pura. Dalam Paparanya narasumber menekankan akan pentingnya manajemen pengelolaan pura yang modern. Penggunaan teknologi IT harus ditingkatkan seperti penggunaan CCTV untuk keamanan area pura dan penerapan teknologi tepat guna lainya, yang tentunya harus didukung dengan SDM yang tinggi.

Dilanjutkan dengan paparan dari Kasubbag Tata Usaha Kantor kementerian Agama Kota Batam, H. Muhammad Dirham, S.Ag, M.Sy. Dalam paparanya beliau menyamppaikan permasalahan dan Isu – Isu aktual keukunan umat Bergama di kota Batam yang meliputi Masalah Perkawinan beda agama, Ijin rohaniawan/pengkotbah asing Menyikapi bantuan luar negeri yang ada pamrihnya Pemersatu agama. Sering kita jumpai Kesalahpahaman perorangan menjadi isu SARA. Ijin Pembangunan Tempat Ibadah juga menjadi isu actual terkini. Paparan terakhir sampaikan oleh ketut Suardita, S.Ag, M.Pd yang mengulas tentang pola pembinaan umat Hindu di Kota Batam. Pembimas Hindu menekankan bahwa harus ada pola dalam pelaksanaan pembinaan umat Hindu dan pengurus Pura. Bisa dibuat sinergi antara pemerintah (Bimas Hindu dan Pemprov/Pemkot) dengan lembaga agama dan lembaga kegamaan.  

Acara berjalan lancar berkat kerja sama dari semua pihak yang ada di Kota Batam. Umat Hindu berharap kegiatan serupa dapat terus ditingkatkan dan menghadirkan narasumber yang lebih variatif. Acara ditutup secara resmi oleh Pembmas Hindu Kanwil Kementerian Agama Prov. Kepulauan Riau.




Minggu, 24 Mei 2015

Isu-Isu Aktual Kerukunan Umat Beragama


Pada Hari Minggu, 24 Mei 2015 bertempat di Gedung Wisma Haji, Penyelenggaraan Ibadah Haji (PIH) Kota Batam, Kementerian Agama Kota Batam yang dipimpin oleh Drs. H. Zulkifli, M.Si menyelenggarakan Rapat Rencana Aksi Tragedi Pengungsi Rohingnya di Sumatera Utara dan Aceh dan Pembahasan Isu-Isu Aktual Kerukunan Umat Beragama di Kota Batam. Tujuan Rapat ini adalah menentukan sikap dan rencana aksi terhadap isu – isu tersebut di atas. Rapat dihadir oleh sekitar 20 peserta yang terdiri dari ketua FKUB Kota Batam, Sekretaris Umum FKUB Kota Batam, Drs. I Wayan Catra Yasa, MM, Ketua Dewan Masjid, pejabat kementerian Aga Kota Batam, Penyelenggara Hindu, Eko Prasetyo, S.Ag, Penyelenggara Budha, Kodho EKo Prayogo, S.Ag. Penyelenggara Kristen dan Penyelanggara Katolik, para ketua pastur se-Kota Batam, kepala KUA se-Kota Batam, ketua WALUBI KOTA BATAM, Parisada Kota Batam dan MUI Kota Batam.

Isu ini sebenarnya adalah murni konflik suku bukan agama. Tetapi ditunggngi oleh pihak yang berkepentingan untuk menciptakan suasana yang tidak kondusif. Banyak foto yang sudah direkayasa. Di Media Presiden sudah mendesak PBB, Myanmar dan Bangladesh untuk memikirkan permasalahan ini. Bahan bantuan yang sangat dibutuhkan adalah bahan makanan, pakaian dan tempat tinggal. Kita harus membuat himbauan di media cetak di kota Batam dan penggalangan dana untuk para pengungsi.

Dari Perwakilan Hindu Drs. I Wayan Catra Yasa, MM yang juga merupakan Sekretaris Umumm FKUB Kota Batam menanyampaikan bahwa pada prinsipnya Hindu setuju dengan rencana aksi ini tergantung teknisnya seperti apa di lapangan, apakah mendirikan posko di tempat ibadah, mengerahkan mahasiswa turun ke jalan menggali dana atau membuka rekening bang bersama.

Sementara dari perwakilan Umat Budha dan Walubi memberikan apresiasi kepada Kementeria Agama Kota Batam yang bergerak cepat tanggap darurat pengungsi Rohingya. Konflik itu bukan konflik agama tetapi murni suku Rohingya dan suku asli Myanmar, dan Rohingnya sendiri adalah suku asli Bangladesh. Dari Walubi menjelaskan bahwa gambar-gambar itu tidak semuanya asli tetapi juga tidak semuanya palsu. Da unsure rekayasa. Pihak Agama Budha juga sudah memberikan keterangan yang detail terhadap kebenaran di lapangan. 

Sementera dari perwakilan KUA menyatakan bahwa perlu tim kerja yang di SK kan oleh Kemenag Kota Batam sebagai langkah nyata. Di Kota Batam sendiri ada sekitar 1165 masjid, sangat memungkinkan untuk menggalang dana yang lebih besar. Kita harus membuka reking bank dan bersurat kepada Pemko Batam agar mengetahuinya. Perlu juga kajian IPTEK akan kebenaran gambar di internet. Walubi Indonesi juga sudah membentuk tim klarifikasi yang meneliti kebenaran gambar di internet.

Turki juga sudah mengirim 8 (delapan) kapal perang untuk menccari kapal mengungsi rohingnya yang terombang ambing berbulan bulan di lautan lepas. Banyak pengungsi yang sudah mati di perjalanan karena kelaparan. Amerika dan Malaysia juga siap membantu. Indonesia juga sudah menyediaan 2 (dua) tempat yaitu di Aceh dan di Sumatera Utara.

Untuk Pembahasan isu-isu aktual yang berkatan dengan suku agama ras dan antar golongan (SARA), pembahasan mengarah pada konflik antara suku Batak dan suku Melayu di Tanjung Uncang, Batam Kepulauana Riau. Kementerian Agama menghimbau agar semua pihak bisa menahan diri agar keadaan tidak semakin memburuk.