Kamis, 18 Januari 2018

Siwaratri, Malam melakukan Instropksi Diri

Pada hari Senin, 15 Januari 2018 di Pura Agung Amerta Bhuana, umat Hindu di Kota Batam menyelenggarakan perayaan Hari Siwaratri. Wayan Catra Yasa menyampaikan siraman rohani kepada umat yang hadir dalam acara persembahyangan bersama malam Siwaratri, hadir di antaranya ada ketua Banjar dan ketua lembaga agama dan keagamaan Hindu se-kota Batam.

Pertama – tama menjelaskan bahwa Siwaratri jatuh pada hari Catur Dasi Krsna paksa bulan Magha, panglong ping 14 sasih Kapitu. Siwa Ratri sesungguhnya datang setiap bulan. Setiap pengelong 14 (sehari sebelum Tilem) adalah malamnya Siwa. Sedangkan pengelong 14 Sasih Kepitu adalah malam tergelap setiap tahun, dan ini disebut Maha Siwa Ratri.

Siwaratri sering diartikan oleh umat Hndu sebagai malam peleburan dosa. Dengan kata lain dosa yang kita lakukan berhari-hari dan berbulan-bulan menjadi lebur hanya karena begadang semalam suntuk. Ini cara pemahaman yang keliru karena dosa tak bisa dilebur hanya dengan begadang semalam suntuk dosa hanya bisa dikurangi dengan melakukan perbuatan baik dan penebusan serta disiplin spiritual yang kita lakukan. Seperti dalam cerita Lubdaka, di mana diceritakan bahwa Lubdaka yang notabene sorang pemburu dan perampok bisa dihapus dosanya hanya karena tidak tidur pada malam Siwaratri karena berada di atas pohon di tengah hutan. Tetapi setidaknya cerita ini memotivasi kita untuk berbuat baik dan melakukan penebusan dosa dari pada tidak pernah sama sekali. Begadang di sini harus dimaknai sebagai letihan menjaga kewaspadaan, sedangkan upawasa adalah untuk melatih pengendalian diri terhadap hawa nafsu. Mnabrata adalah sebagai latihan kita untuk mengendalikan perkataan.

Kita harus mengimplentasikan disiplin spiritual dalam etos kerja. Dari etos kerja tinggi maka kita akan dipercaya dalam sebuah pekerjaan. Etso kerja umat Hindu harus tinggi di dalam pekerjaan dengan senantiasa menyeimbangkan kecerdasam spiritual, emosional dan intelektual. Semua manusia mempunyai peran dan kesempatan berbuat baik. Sebaik-baiknya manusia pasti ada kesalahannya. Tetapi percayalah semua tergantung pada karma wasana dari perbuatan masa lalu yang memberi kesan karakter pikiran perkataan dan perbuatan yang melekat pada diri kita. Jiwa atau Atman tidak akan ternoda. Pikiran jangan menjadi budak dari hawa nafsu.

Wayan menghimbau kepada orang tua dan guru di Pasraman untuk senantiasa mendidik putra dan putrinya dengan budi pakerti yang luhur. Melalui momentum Brata Siwaratri inilah putra putri dibina untuk mengendalikan makan, nafsu indria, perkataan dan selalu waspada terhadap segala kemungkinan. Hal ini perlu untuk sebagai bekal hidup setelah mereka dewasa. Anak – anak harus kita didik untuk menghormati Catur Guru yaitu orang tua sebagau guru rupaka, guru di sekolah, pemerinta dan Tuhan sebagai Guru Swadhyaya. Jika putra putri kita sudah tidak lagi hormat pada ke-empat guru ini maka mereka tidak akan bisa menemukan jatidiri apalagi menemukan pencerahan. Agama Hindu tidak mengajarkan kita paling benar, kita paling suci dan yang lain salah. Ini yang harus kita tanamkan kepada anak-anak, pendidikan budi pakerti. Kecerdasan Intelektual pada anak-anak harus diimbangi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Perayaan Siwaratri mengajarkan kita untuk mengasah kecerdasan spiritual.

Terakhir Wayan menegaskan bahwa Pura merupakan tempat pemujaan Tuhan, bersosialisasi, seni, budaya, dan pendidikan. Memang benar Tuhan bisa dipuja di mana saja termasuk di rumah tetapi memuja Tuhan di Pura akan lebih cepat mencapai konsentrasi. Ketika kita datang ke pura maka kita akan bertemu satu sama lain, saling bertukar informasi dan berinterakis. Kita makhluk sosial yang membutuhkan orang lahir sejak dalam kandungan sampai kita meninggal. Untuk itu umat Hindu jangan tidak ke pura. Di Pura kita bisa mewujudkan Loka Samgraha atau tempat yang damai dan pada akhirnya tujuan agama Hindu yaitu Moksartham Jagadhita Yacca iti dharma (kebahagiaan dan pembebasan baik di dunia maupun setelah kita meninggal) akan terwujud.

Acara dilanjutkan dengan Dharma thula atau Tanya jawab seputar Agama Hindu dan makna Siwaratri. Bertindak sebagai narasumber adalah I Wayan Catra Yasa, Jro Mangku Putu Satria Yasa, dan Prabhu Si Putu Sumardaya. Acara dipandu oleh Eko Prasetyo selaku Penyelenggara Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Batam. Jero Mangku Putu Satria Yasa mengawalai dharma thula pada kesempatan itu bahwa umat Hindu hendaknya melestarikan tradisi yajna sebagai upaya peningkatan kualitas diri. Leluhur Hindu telah mengajarkan kepada kita untuk mulai melakukan pendidikan dan yajna sejak bayi dalam kandungan (Garbha dana). Hendaknya diperdengarkan lagu – lagu rohani dan nama suci Tuhan kepada bayi yang masih adas dalam kandungan agar kelak lahir menjadi putra yang suputra. Jero Mangku Putu juga menjelaskan bahwa jangan sekali – kali memarahi ibu yang sedang mengandung atau mengejutkan sang Ibu yang sedang hamil karena hal itu akan berpengaruh kepada bayi dalam kandungan. Eko Prasetyo menambahkan bahwa hal itu sejalan dengan penelitian profesor dari Jepang yang meneliti air. Di mana molekul air yang dimantrai dengan doa akan berbeda dengan air yang diberikan energi kemarahan, energi kesedihan dan lain – lain. Otak manusia 80% nya adalah air. Jika anak kecil sering kita bentak maka dia akan cepat sedih dan depresi. Maka jangan membentak anak kecil tanpa alas an agar tidak berpengaruh kepada kesehatan mentalnya.

Selanjtunya Prabhu Si Putu Sumardhaya menjelaskan bahwa semua proses yajna sejak bayi ada dalam kandungan adalah dalam rangka mementuk anak yang terlahir mempunyai sifat dan kepribadian yang utama. Manusia harus berbhkati kepada Tuhan salah satunya dengan mengucapkan nama smaranam kepada Tuhan agar telahir dalam keadaan lebih baik di kelahiran yang akan datang.

Terakhir I wayan Catra Yasa menjelaskan bahwa pikirian itu sangat liar dan cepat laksana angin dan melebihi kecepatan cahaya. Melalui moment Siwaratri Umat Hindu harus melakukan Sasdhana Spiritual untuk memohon anugerah kesucian dari Hyang Widhi. Umat Hindu harus berani melakukan uipgrasde diri baik rohani maupun jasmani agar menjadi makhluk yang utama. (Eko)