Senin, 06 Maret 2017

Prof. Dr. I Made Surada, MA: "Dharma Gita adalah Sarana Bhakti, bukan Hanya Pelengkap Upacara Yajna"

Bertempat di Aula Pasraman Jnana Sila Bhakti, Pura Agung Amerta Bhuana, Kota Batam, secara khusus I Gusti Ayu Indira Lakshmi Anom yang merupakan salah satu siswi Pasraman Jnana Sila Bhakti mewancarai Prof. Dr. I Made Surada, MA di dampingi oleh Eko Prasetyo selaku penyelenggara Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Batam, pada Hari Sabtu, 4 Maret 2017. Indira yang merupakan siswi kelas VIII SMP unggulan di Kota Batam ini dengan tenang menanyakan satu per satu pokok bahasan dalam dharma gita kepada Guru Besar Sanskrta IHDN Denpasar tersebut.

Pada awal pembicaraan Indira menanyakan apakah yang dimaksud dengan dharma gita? Lalu Prof. Dr. I Made Surada, MA menjelaskan bahwa dharma gita itu adalah nyanyian tentang dharma. Dharma sendiri adalah kebenaran, dharma juga berarti kebajikan dan agama itu sendiri. Jadi dharma gita adalah nyanyian tentang kebenaran dan nyanyian tentang kebajikan menurut Agama Hindu. Yang termasuk Dharma Gita adalah Sloka, kekawin, kidung macapat, pupuh, palawakia dan lainya.

Menurut sastra di nusantara dharma gita yang dirumuskan dan diwariskan oleh leluhur meliputi sekar agung, sekar alit dan sekar madya. Dalam sekar agung kita mengenal kekawin, sloka, dan palawakia. Dalam sekar madya kita mengenal Kidung Warga Sari dalam upacara yewa yajna dan lain-lain. Sekar alit meliputi pupuh atau dalam masyarakat Hindu Jawa ada Macapat. Berdasarkan klasifikasi kesusastraan kita ada 10 (sepuluh) jenis pupuh atau macapat seperti Sinom, Pucung, Mas Kumambang, Megatruh, Dandang Gula, dan lainnya.

Dalam sastra nusantara kita juga mengenal Panca Gita yang artinya 5 (lima) jenis bunyi-bunyian yang dapat menimbulkan dan membangkitkan rasa bhakati dan kebahagiaan saat upacara keagamaan  dilaksanakan, kelima bunyi-bunyian itu yang pertama adalah suara yang berasal dari logam yaitu suara gong dan gamelan yang merupakan musik tradisonal untuk mengiringi upacara keagamaan, contoh pada saat upacara pujawali. Suara yang berasal dari kayu seperti dari kentongan pada bale kulkul yang berfungsi sebagai pertanda bahwa upacara sudah dimulai, dan umat Hindu mulai berkumpul di tempat upacara. Kemudian suara dari kidung dharma gita, kemudian suara yang berasal dari genta atau bajra yang dibunyikan oleh sulinggih atau pemangku untuk mengiringi doa dan pujian kepada Tuhan. Terakhir adalah suara yang berasal dari suara manggalaning yajna yaitu sang sulinggih dan pemangku  saat memimpin upacara yajna. Jika semuanya disuarakan secara bersamaan dan diiringi dengan rasa bhakti yang tinggi maka akan timbul energi positif yang luar biasa.

Kemudian Indira menanyakan apa fungsi dari dharma gita itu sendiri. Secara singkat sang Guru Besar IHDN itu menjelaskan bahwa Dharma gita sesungguhnya sangat berperan besar dalam upacara yajna (Dewa yajna, rsi Yajna, Pitra yajna, manusa yajna dan bhuta yajna). Dharma gita sesungguhnya merupakan salah satu bentuk perwujudan bhakti kita kepada para dewa dan leluhur. Masing-masing yajna dari Panca Yajna ada dharma gita tersendiri.

Selain menggunakan bebantenan kita juga bisa mendekatkan diri dengan Tuhan melalui sarana dharma gita. Jadi dharma gita memilikki fungsi yang dengan bebantenan yaitu sebagai sarana dan media menghaturkan bhakti sebagai persembahan kepada Tuhan dalam upakara yajna. Jadi pada perkembangannya dharma gita Bukan hanya sebagai pengiring dan pelengkap sebuah upacara yajna apalagi hanya untuk memeriahkan sebuah upacara yajna.

Yang bisa kita jadikan referensi dari nilai bhakti pada dharma gita adalah Bhagavata purana Adhaya VII sloka 53. Kita mengenal konsep Nawa Vidha Bhakti yang berarti 9 (Sembilan) jalan mendekatkan diri dengan Tuhan terlebih di zaman Kali. Adapun bagian-bagian dari Nawa Vidha Bhakti yang pertama adalah Srawanam yang artinya mendengarkan wejangan atau ajaran suci dari seorang guru atau rohaniawan. Contohnya adalah wejangan dari orang tua, rohaniawan, dan guru di sekolah.

Yang kedua adalah Vandanam yang artinya membaca kitab suci Weda. Kita bisa membiasakan diri untuk membaca hal-hal yang menuntun kita ke jalan kesucian dan pencerahan. Mebaca hal-hal tentang kebenaran atau dharma seperti membaca sloka-sloka Bhagawad-Gita, Sarasamuccaya dan kitab lainnya. Vandanam juga berarti sebuah kesepakatan bersama. Ada kesepakatan untuk mempelajari sastra suci membaca sloka kekawin. Tujuannya adalah sebagai sarana bhakti dan doa kita kepada Tuhan, para dewa dan manifestasi-Nya yang dilandasi dengan ketulusan.

Selanjutnya adalah Kirtanam yang artinya melantunkan kidung dan mantra suci. Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah mekidung saat sebelum dan selesai persembahyangan Tri Sanddhya dalam upacara yajna. Contoh lainnya adalah bhajan bagi penganut Sampradaya. Di Indonesia leluhur kita mewariskan dharma gita seperti mekidung yang sama artinya dengan memuja dan memuji kebesaran Tuhan, para leluhur dan para dewa.

Selanjutnya adalah Nama Smaranam yang artinya bagaimana mengingat perilaku dan ajaran baik melalui pengucapan nama suci Tuhan yang dapat memberikan vibrasi kesucian dan kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain. Kita hidup bersama - sama harus saling menghormati satu sama yang lain. Namasmaranam juga berarti mengucap nama suci Tuhan secara berulang-ulang, seperti mengucapkan mantra Om Namah Siwaya, Om Sri Mahalaksmayanamah, Om Sri Saraswatyai namah, dan lain sebagainya. Nama Smaranam juga merupakan pengucapan mantra dengan tujuannya agar diberikan keselamatan.

Padasewanam Artinya sujud bhakti di kaki Padma Tuhan dalam wujud Guru dan orang tua. Contoh sederhananya kita menghormati atau melaksanakan ajaran Pandita (Ratu Pedanda), Pemangku. Kita adalah pelayan dan abdi Tuhan, para dewa dan leluhur. Manusia secara kodrati adalah sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial sehingga harus menghormati orang lain terlebih guru dan orang tua. Sejak lahir kita orang tua kita sudah mengajari kit abagaimana berdiri, berjalan dan berbicara. Maka kita wajib hormat kepada beliau.

Selanjutnya adalah Sakhyanam yang artinya memperlakukan Tuhan sebagai sahabat. Apa yang kita anggap bersih dan sehat itulah yang kita persembahkan kepada Tuhan. Jangan mempersembahkan yang sudah layu dan busuk kepada-Nya. Ber-dharma gitalah dengan baik dan penuh dengan ketulusan maka Tuhan akan berkenan hadir. Menjalin persahabatan dengan semua mahkluk, dimana kita sebagai mahluk sosial tidak bisa hidup sendiri, maka kita perlu menjalin persahabatan agar memiliki hidup yang tenang dan damai.

Dhasyam artinya melayani Tuhan, dewa dan leluhur. Memuja Tuhan adalah melayani Tuhan di Pura. Agar kita dimudahkan segala urusan dalam hidup kita  berpasrah diri memuja kehadapan para dewa. Berpasrah diri merupakan sikap penuh bertanggung jawab kehadapan tuhan dengan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kita sebagai pelayan Tuhan apapun peekrjaan kita harus selalu ingat Tuhan dan abdikan semata-mata untuk Tuhan

Arcanam artinya berbhakti kepada Hyang Widhi dalam bentuk simbol-simbol suci keagamaan. Semua agama menggunak simbol untuk memudahkan pengikutnya mencapai satu titik konsentrasi yang akhirnya muncullah bhakti dalam diri. Untuk itu kewajiban kita salah satunya adala menjaga simbol dan pratima tersebut. Kita juga wajib menjaga kesucian pura. Perlu diketahui bersama bahwa sesunggunya Tuhan tidak bisa dipikirkan atau disebut disebut Acintya Rupa (tan kagrahite dening manah indriya). Beliau tidak bisa dijangkau melalui panca indra maka duwujukan dengan simbol. Tetapi kita tidak memuja Simbol tetapi kita memuja Tuhan melalui partima dan nyasa yang disakralkan dan diinisiasi oleh sulinggih ataupun pinandita. Terakhir adalah Sevanam yang artinya memberikan pelayanan yang baik, contohnya membantu orang atau memberikan pelayanan terbaik terhadap sesama. Melayani sesama adalah bentuk pelayanan kepada Tuhan.

Fungsi dharma gita yang selanjutnya adalah sebagai sarana melatih konsentrasi pikiran atau biasa disebut dengan yoga. Dalam diam ada yoga, saat berjalan ada yoga, mengapa? karena semuanya memerlukan konsentrasi pikiran. Dan dalam dharma gita ada juga yoga. Yoga diajarkan pertama kali oleh Dewa Siwa dan diwahyukan kepada Maharsi Patanjali. Beliau merumuskan  konsep Astangga Yoga yang artinya adalah 8 (delapan) tahapan dalam melakukan yoga. Adapun bagian-bagiannya adalah Yama, yaitu pengendalian diri pada tingkat jasmani atau tahap pertama dalam pengendalian terhadap keinginan dan nafsu indria. Selanjutnya adalah Nyama, yaitu pengendalian diri tingkat rohani atau tahap lanjut dengan memupuk kebiasaan-kebiasaan yang baik. Yang ke-tiga adalah Asana, yaitu mengatur sikap badan apakah duduk, berdiri atau yang lainnya dengan disiplin. Kemudian Pranayama adalah teknik mengatur nafas dengan melalui tiga tahapan, yakni menarik nafas (puraka), menahan nafas (kumbaka), dan mengeluarkan nafas (recaka), yang semuanya dilakukan secara teratur. Pratyahara adalah memusatkan indria dengan mengontrol dan mengendalikan sehingga dapat diarahkan ke hal-hal kesucian. Dharana adalah pemusatan pikiran dengan berusaha menyatukan pikiran dengan Tuhan. Dhyana adalah pemusatan pikiran yang terpusat yang tingkatannya lebih tinggi dari Dharana. Dan yang terakhir adalah tingkat Samadi, yaitu Meditasi tingkat tinggi atau bersatunya Atma dengan Brahman pada tingkatan Meditasi bukan dalam arti setelah mati.

Dharma gita juga berfugsi sebagai media pembelajaran bagi kita semua khususnya bagi para siswa, anak muda dan orang awam yang baru mengenal Hindu. Kita diwarisi dengan konsep dan istilah dari penglingsir kita di Bali yaitu “melajah sambilang menggending, megending sambilang melajah”. Kita diajarkan untuk belajar agama Hindu dengan memahami makna sloka, Belajar menghayati sloka. Belajar memaknai apa yang sedang di nyakini yaitu Tuhan melalui Itahasa, dan Purana. Kita bisa mengawali mempelajari Weda dengan membaca cerita Ramayana dan Mahabharata. Maharsi Walmiki pernah bersabda bahwa barang siapa mendengar, membaca atau menerapkan Ajaran yang terkandung dalam cerita Ramayana maka akan diberkati oleh Tuhan. 

Sastra suci terkadang sulit dipelajari orang anak kecil atau orang awam. Maka biar mudah dipelajari dengan diawali dengan membaca itihasa dan purana seperti belajar kekawin, palawakia dan lainnya. Setelah kita mengetahui contoh perilaku para dewa dan orang suci maka akan muncul sradha dan bhakti dalam diri sehngga ada keinginan untuk membaca Weda lebih lanjut. Akan ada keinginan untuk memuja Tuhan akibat terinspirasi dari cerita Ramayana dan Mahabharata. Tidak akan terjadi salah tafsir terhadap Weda. Di sinilah mengapa pentingnya mengawali Weda dengan membaca Itihasa dan Purana. Hal ini terdapat dalam Kita Vayu Purana dan Sarasamucaya yang menjelaskan bahwa Weda hendaknya dipelajari dengan diawali membaca Itihasa dan Purana atau cerita kisah kepahlawanan, cerita perilaku para dewa, orang suci dan juga cerita kepahlawanan dalam kisah Mahabharata dan Ramayana. Konon Weda takut kepada orang yang bodoh dan lain sebagainya. Bodoh di sini adalah tidak bisa menafsirkan dan tidak bisa memebdakan mana yang baik dan mana yang buruk serta mudah menyalahkan dharma dan leluhur. Demikian dinyatakan dalam kitab suci.

Weda pada akhirnya akan dipelajari dengan cara yang menyenangkan karena dikemas dengan budaya dan theoli\ogi lokal. Jadi Hindu di India akan berbeda dengan Hindu di Bali, Jawa, Kaharingan, Toraja, Ambon, Tengger dan lain sebagainya. Semenjak abad IX sudah ada proyek menerjemahkan Weda ke dalam bahasa Jawa Kuno (Kawi) yang dipelopori oleh Raja Dharma Wangsa Teguh dengan membahasa jawakan ajaran Weda oleh Rsi Wyasa yang masuk ke Indonesia yang kita kenal dengan proyek Majawakan abhayasamata. Dijadikanlah Weda itu dalam kekawin, tutur dan kekawin yang indah sehingga mudah diterima dan dipahami oleh Umat Hindu dulu dan sekarang dengan bahasa jawa kuno.

Dharma gita juga berfungsi untuk menyebarkan ajaran Weda atau membumikan ajaran Weda di nusantara. Artinya bahwa dengan mempelajari Weda berarti kita telah melestarikan ajaran Weda. Umat selanjutnya bisa memahami ajaran Agama Hindu. Perlu kita ketahui bahwa Agama Hindu di Indonesia adalah perjumpaan antara ajaran leluhur dengan ajaran Weda dari India. Leluhur kita mempunyai kemampuan dalam hal mendengar (srawanam), menulis (smertI dan melihat (darsanam). Beliau sangat hebat dan tidak menjiplak atau plagiat terhadap Weda. Beliau mendengar sendiri Sabda Brahman yang merupakan ajaran Weda kemduian ditulis dalam lontar-lontar yang kita warisi di Jawa dan di Bali sampai sekarang. Karya tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa. Tetapi karena kita dijajah oleh Belanda selama ratusan tahun maka tidak heran jika banyak susastra suci Weda kita yang ada di Belanda tepatnya di Leiden University. Untuk kita tidak boleh membenci Weda sebagai warisan leluhur, apalagi menyalahkan leluhur dan mengatakan Hindu itu sulit dan sebagainya. Kita bisa kena tulah oleh leluhur. 

Karakter keunikan Weda di Indonesia berbeda dengan Weda di India. Kita diwarisi Bhagavad-Gita dan Sarasamucacaya yang merupakan aliran atau cabang dari Weda. Bahkan Bhagavadgita dikenal sebagai Pancama Veda atau Weda yang ke-lima. Sarasamuccya adalah termasuk Kitab Nibhanda yang isinya setara dengan Weda yang sangat bagus untuk pedoman perilaku umat Hindu khususnya generasi muda untuk melaksanakan dharma dan memilih teman pergaulan di jaman skearang ini.

Secara umum Weda ada 2 (dua) yaitu sruti dan smerti. Kitab Weda Sruti ada Kitab Brahmana, Upanisad, Mantra dan Aranyaka. Sedangkan Kitab Weda Smerti terbagi menjadi Upaveda, Upangga Veda, dan Wedangga. Inilah kekayaan Agama Hindu yang banyak sekali yang mungkin sulit untuk kita dipahami. Makanya Weda dipelajari secara bertahap dengan membaca Itihasa dan Purana agar tidak bingung. Kemudian Weda dijadikan pedoman perilaku umat Hindu. Apa yang terdapat dalam Weda tidak akan ada dalam kitab lain, dan apa yang ada di kitab suci agama lain pasti ada dalam Kitab Suci Weda. Inilah kelebihan Kitab Suci Weda yang harus kita pelajari dan kita ajarkan kepada anak-anak kita.

Terakhir Made Surada menegaskan bahawa sebagai genarasi muda harus membudayakan gemar membaca Weda dengan belajar sloka, palawakia dan kekawin baik di rumah, di pura atau di banjar-banjar. Kita harus paham betul permasalahan ini. Jangan sampai tradisi ini terputus. Maka ada lomba Utsawa Dharma Gita sebagai media pelestarian seni baca kitab suci Weda. Kita harus berterima kasih kepada pemerintah sebagai guru wisesa dalam hal ini Ditjen Bimas Hindu Kmeneterian Agama RI yang menggagas pelaksanaan lomba Utsawa Dharma Gita ini sehingga generasi muda giat berlatih tidak hanya di Bali tetapi di seluruh Indonesia.

Dharma gita adalah sebagai bhakti maka kidung tidak bisa digantikan dengan suara music dari mp3 player dan sebagainya. Contoh karena malas mekidung kita putar saja CD/VCD kidung sampai habis.Hal ini tidak benar kecuali hanya untuk tujuan seni dan keindahan sambil kita ngayah di pura misalnya. Tetapi saat upacara yajna sebisa mungkin harus suara live atau dari mulut kita bukan dari mp3 palyer dan lain sebagainya.

Bhakti harus muncul dari pikiran gerak dan ucap kita. Tidak semua kita serahkan permangku saja dalam berdoa. Kita berbuat untuk diri sendiri dan juga orang lain. Saat pemangku mepuja maka kita juga harus mengkidung apa yang kita bisa dan apa yang kita milikki. inilah keunikan agama Hindu yang di agama dan tempat lain tidak ada. Mari kita pahami secara mendalam konsep dharma gita ini. Jangan cepat menyalahkan leluhur dengan mengatakan Hindu ribet, Hindu susah  agar kita tidak disebut alpaka guru dan kena tulah dari leluhur. Seperti yang disampaikan di atas bahwa leluhur lebih  pintar dari kita. Beliau sudah tahu apa yang akan terjadi 500 tahun kemudian. Akhirnya mari kita pelihara dan kita lestarikan dharma gita sebagai bentuk Rsi Yajna dan penghormatan kepada para maharsi dan leluhur (pitra yajna). Janganlah beragama Hindu yang ribet tetapi beragama dengan penuh rasa dan keindahan, sederhana agar tercipta kebahagian lahir batin menuju loka samgraha atau sebuah tempat yang damai di dunia ini melalui dharma gita untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. (ep2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar