Senin, 05 November 2018

Pujawali IX Pura Agung Amerta Bhuana, Kota Batam


Batam-Pada hari Rabu 24 Oktober 2018, umat Hindu di Kota Batam menyelaksanakan prosesi upacara Pujawali XI yang bertepatan dengan Purnama sasih Kalima Pura Agung Amerta Bhuana. Upacara ini ini. Upacara pujawali merupakan bagian dari Dewa Yajna yang berarti memuja kembali keagungan Tuhan pada hari yang sudah ditentukan. Pujawali adalah hari jadi pura yang diisi dengan aktivitas spiritual berupa upakara keagamaan guna menumbuhkan keimanan umat Hindu di Kota Batam. Pada Ida Pedanda Gede Nyoman Putra Talikup, Griya Kaulubiau, Desa Muncan, Selat, Kabupaten Karangasem, Prov. Bali.

Hadir pada kesempatan itu Pembimas Hindu Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau, Ketut Suardita, S.Pd, M.Pd, Ketua Parisada Prov. Kepulauan Riau, Parisada Kota Batam, Penyelenggara Bimas Hindu Kantor Kementerian Agama Kota Batam, Eko Prasetyo, S.Ag, Penyuluh Agama Hindu Kanwil kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau, Purwadi, S.Ag, Pengurus Parisada Prov. Kep. Riau, WHDI Prov. Kep. Riau, Ny. Dara Astuti selaku Ketua WHDI Kepri, Ketua BPH Kerpi, Ketua BOP Agung Amerta Bhuana, Ketua UKHB dan Ketua Lembaga Agama dan Keagamaan se-Kota Batam.

Mengapa harus melaksanakan pujawali atau piodalan dan juga Filosophy agama Hindu. Piodalan berasal dari kata Wedhal keluar atau lahir. Umat Hindu identik dengan dengan acara, upakara atau ritual. Dan umat Hindu di Batam kali ini melaksanakan Piodalan IX. Mengapa umat hindu di Batam harus melaksanakan piodalan? Mengapa ini terjadi?

Piodalan Mengulang sejarah proses sebelum adanya pura dan juga sesudah pura itu ada. Pujawali atau piodalan sebagai Wujud terima kasih kepada leluhur, penggagas dan pendahulu oleh generasi penerusnya. Wujud terim kasih itu berupa pelestarian budaya sebagai bagian dari upaya pembumian ajaran Weda.

Kegiatan Pujawali ini sudah didahului dengan Prosesi Melasti di Danau Sei Ledi pada hari Selasa 23 Oktober 2018. Menurut Penyelenggara Hindu bahwa upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala yaitu Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana,” yang artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran alam. Lebih lanjut dalam dalam Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah: Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara, yang artinya: Mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Kamandalu) di tengah-tengah samudera. Sumber lain menyebutkan bahwa tujuan pelaksanaan melasti adalah menyucikan sarana prasarana, pratima dan wastra: Pesucian dewa kalinggania pamratista bethara kabeh yang artinya Mensucikan sthana para dewa. Jadi tujuan Melasti di samping membersihkan sarana dan prasarana upakara, pratima, wastra adalah juga untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari kehidupan di tengah samudera. Samudera adalah lambang lautan kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudera kehidupan itulah, kita mencari sari-sari kehidupan.

Ada beberapa rangkaian upacara pujawali. Yang paling umum adalah mecaru, mekalhyas, persembahyangan bersama dan diakhiri nyineb sekaligus prosesi Purwa daksina. Upakara didahului dengan proses mecaru yang berfungsi menjalin hubungan yang harmonis kepada unsur alam (palemahan). Bhuta kala adalah unsur penyeimbang yang berperan menjaga keseimbangan alam ini yang harus kita hormati malalui prosesi pecaruan. Pujawali berjalan dengan lancer karena kerjasama dari semua pihak. Tujuan dari pelaksanaan upacara yajna adalah lascarya, sidhi karya, dan labda karya yang pada akhirnya akan memberikan damapak bagi umat baik kesucian batin dan kesejahteraan hidup.

Selanjutnya adalah Upacara Purwa daksina, yaitu berjalan mengelilingi padmasana dengan membawa pratima-pratima searah jarum jam sambal mengulang-ulang nama suci Tuhan. Purwa Daksina merupakan salah satu prosesi pujawali yang mengandung makna bahwa kita harus mengagung-agung nama suci Tuhan, yang kedua adalah bahwa kita sebagai manusia harus ikut memutar roda kehidupan di jalan kebenaran, Jika tidak maka kita akan bisa bertahan hidup, demikian pula jika kita keluar dari jalan dharma maka kita akan mendapatkan hukumanya. Dalam mengarungi kehidupan ini terkadang kita mengalami suka dan duka yang datang silih berganti. Hukum rta ini tidak bisa dihindari oleh manusia. Penderitaan yang muncul akibat kegiatan kerja yang kita lakukan ibarat bisa, atau racun (wisaya) yang keluar dari proses pengadukan lautan kehidupan.   Sebaliknya kebahagiaan yang muncul dari kegiatan kerja kita ibarat tirtha amertha yang memuaskan dahaga kita. JIka salah kita memutar roda kehidupan, maka bukanya madu yang kita dapatkan melainkan racun. Tetapi terkadang walau kita sudah memutar roda kehidupan di jalan kebenaran tetapi kita masih saja mendapatkan racun (wisaya), itu adalah bagian dari hukum rta yaitu, lahir-mati, penyakit, usia tua, dan penderitaan (janma mertyu jara wyadi duhka dosa nudarsanam). Manusia tidak bisa terhindar dari hukum rta, tetapi jika kita di jalan dharma maka penderitaan itu akan tetap kita terima tetapi kita diberikan kekuatan batin untuk menghadapinya.

Pujawali merupakan salah satu cara untuk tetap menegakkan dharma dan membumikan, melestarikan ajaran Weda. Sebagaimana kita ketahui dalam sastra suci bahwa makhluk hidup berasal dari makanan, makanan berasala dari tumbuhan, tumbuhan berasal dari hujan, hujan berasal dari yajnya, dan yajna sendiri bisa terlaksana karena kegiatan kerja (karma). Maka kegiatan Yajna, bersedekah, tapa brata, dan kegiatan kerja tidak boleh kita tinggalkan karena itu adalah pensuci bagi orang yang memuja Tuhan. Umat sangat antusias mengikuti acara dari awal sampai akhir. (eko2018).








Tidak ada komentar:

Posting Komentar