Batam-Pada hari Rabu 24 Oktober 2018, umat
Hindu di Kota Batam menyelaksanakan prosesi upacara Pujawali XI yang bertepatan
dengan Purnama sasih Kalima Pura Agung Amerta Bhuana. Upacara ini ini. Upacara
pujawali merupakan bagian dari Dewa Yajna
yang berarti memuja kembali keagungan Tuhan pada hari yang sudah ditentukan. Pujawali
adalah hari jadi pura yang diisi dengan aktivitas spiritual berupa upakara
keagamaan guna menumbuhkan keimanan umat Hindu di Kota Batam. Pada Ida Pedanda
Gede Nyoman Putra Talikup, Griya Kaulubiau, Desa Muncan, Selat, Kabupaten Karangasem,
Prov. Bali.
Hadir pada kesempatan itu Pembimas Hindu
Kanwil Kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau, Ketut Suardita, S.Pd, M.Pd, Ketua
Parisada Prov. Kepulauan Riau, Parisada Kota Batam, Penyelenggara Bimas Hindu
Kantor Kementerian Agama Kota Batam, Eko Prasetyo, S.Ag, Penyuluh Agama Hindu
Kanwil kementerian Agama Provinsi Kepulauan Riau, Purwadi, S.Ag, Pengurus
Parisada Prov. Kep. Riau, WHDI Prov. Kep. Riau, Ny. Dara Astuti selaku Ketua
WHDI Kepri, Ketua BPH Kerpi, Ketua BOP Agung Amerta Bhuana, Ketua UKHB dan Ketua
Lembaga Agama dan Keagamaan se-Kota Batam.
Mengapa harus melaksanakan pujawali
atau piodalan dan juga Filosophy agama Hindu. Piodalan berasal dari kata Wedhal
keluar atau lahir. Umat Hindu identik dengan dengan acara, upakara atau ritual.
Dan umat Hindu di Batam kali ini melaksanakan Piodalan IX. Mengapa umat hindu
di Batam harus melaksanakan piodalan? Mengapa ini terjadi?
Piodalan Mengulang sejarah proses sebelum
adanya pura dan juga sesudah pura itu ada. Pujawali atau piodalan sebagai Wujud
terima kasih kepada leluhur, penggagas dan pendahulu oleh generasi penerusnya.
Wujud terim kasih itu berupa pelestarian budaya sebagai bagian dari upaya
pembumian ajaran Weda.
Kegiatan Pujawali ini sudah didahului dengan
Prosesi Melasti di Danau Sei Ledi pada hari Selasa 23 Oktober 2018. Menurut
Penyelenggara Hindu bahwa upacara Melasti dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji
Swamandala yaitu Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing
bhuwana,” yang artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan
kepapaan dan kekotoran alam. Lebih lanjut dalam dalam Lontar Sundarigama
menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah: Amet sarining amerta kamandalu
ring telenging sagara, yang artinya: Mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta
Kamandalu) di tengah-tengah samudera. Sumber lain menyebutkan bahwa tujuan
pelaksanaan melasti adalah menyucikan sarana prasarana, pratima dan
wastra: Pesucian dewa kalinggania pamratista bethara kabeh yang
artinya Mensucikan sthana para dewa. Jadi tujuan Melasti di
samping membersihkan sarana dan prasarana upakara, pratima, wastra adalah juga
untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta mengambil sari-sari
kehidupan di tengah samudera. Samudera adalah lambang lautan kehidupan yang
penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudera kehidupan itulah, kita
mencari sari-sari kehidupan.
Ada beberapa rangkaian upacara pujawali.
Yang paling umum adalah mecaru, mekalhyas, persembahyangan bersama dan diakhiri
nyineb sekaligus prosesi Purwa daksina. Upakara didahului dengan proses mecaru
yang berfungsi menjalin hubungan yang harmonis kepada unsur alam (palemahan). Bhuta kala adalah unsur penyeimbang yang
berperan menjaga keseimbangan alam ini yang harus kita hormati malalui prosesi
pecaruan. Pujawali berjalan dengan
lancer karena kerjasama dari semua pihak. Tujuan dari pelaksanaan upacara yajna
adalah lascarya, sidhi karya, dan labda karya yang pada akhirnya akan
memberikan damapak bagi umat baik kesucian batin dan kesejahteraan hidup.
Selanjutnya adalah Upacara Purwa daksina, yaitu berjalan
mengelilingi padmasana dengan membawa pratima-pratima
searah jarum jam sambal mengulang-ulang nama suci Tuhan. Purwa Daksina merupakan salah satu prosesi pujawali yang mengandung
makna bahwa kita harus mengagung-agung nama suci Tuhan, yang kedua adalah bahwa
kita sebagai manusia harus ikut memutar roda kehidupan di jalan kebenaran, Jika
tidak maka kita akan bisa bertahan hidup, demikian pula jika kita keluar dari
jalan dharma maka kita akan mendapatkan hukumanya. Dalam mengarungi kehidupan
ini terkadang kita mengalami suka dan duka yang datang silih berganti. Hukum
rta ini tidak bisa dihindari oleh manusia. Penderitaan yang muncul akibat
kegiatan kerja yang kita lakukan ibarat bisa, atau racun (wisaya) yang keluar dari proses pengadukan lautan kehidupan. Sebaliknya kebahagiaan yang muncul dari
kegiatan kerja kita ibarat tirtha amertha yang memuaskan dahaga kita. JIka
salah kita memutar roda kehidupan, maka bukanya madu yang kita dapatkan
melainkan racun. Tetapi terkadang walau kita sudah memutar roda kehidupan di
jalan kebenaran tetapi kita masih saja mendapatkan racun (wisaya), itu adalah
bagian dari hukum rta yaitu, lahir-mati, penyakit, usia tua, dan penderitaan (janma mertyu jara wyadi duhka dosa
nudarsanam). Manusia tidak bisa terhindar dari hukum rta, tetapi jika kita
di jalan dharma maka penderitaan itu akan tetap kita terima tetapi kita
diberikan kekuatan batin untuk menghadapinya.
Pujawali merupakan salah satu cara untuk tetap menegakkan dharma
dan membumikan, melestarikan ajaran Weda. Sebagaimana kita ketahui dalam sastra
suci bahwa makhluk hidup berasal dari makanan, makanan berasala dari tumbuhan,
tumbuhan berasal dari hujan, hujan berasal dari yajnya, dan yajna sendiri
bisa terlaksana karena kegiatan kerja (karma).
Maka kegiatan Yajna, bersedekah, tapa
brata, dan kegiatan kerja tidak boleh kita tinggalkan karena itu adalah pensuci
bagi orang yang memuja Tuhan. Umat sangat antusias mengikuti acara dari awal
sampai akhir. (eko2018).